Memasuki pergantian
tahun 2017 dalam ulasan para ekonom dan diskusi ekonomi outlook yang digelar beberapa
menyimpulkan bahwa perekonomian kita berpotensi tidak sebaik tahun lalu, namun
masih ada harapan untuk bertumbuh sedikit. Ini bukanlah suatu ancaman bagi
pelaku bisnis bila mampu berinovasi dengan mengubah masa perlambatan ekonomi
ini untuk menangkap peluang-peluang baru, khususnya dengan berkembangnya
e-commerce.
Dalam
diskusi ekonomi outlook 2017 yang diselenggarakan Harian Fajar bekerja sama
dengan IMA (Indonesia Marketing Association) di kampus Universitas Muslim
Indonesia pada tanggal 21 Desember 2016 lalu menarik disimak. Para pembicara umumnya
mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia belum tentu akan lebih baik
dibanding tahun lalu, namun haruslah selalu disikapi dengan optimisme. Trend
perlambatan masih akan berlangsung dengan asumsi masih terjadinya pelemahan
ekonomi global yang berdampak terhadap tertekannya perekonomian negara kita.
Hal
menarik dalam diskusi tersebut yakni kehadiran internet dan kemajuan ICT
(Internet & Communication and Technology) yang terkadang men-disruptive pasar konvesional, menjadi
perhatian tersendiri bagi industry-industri yang sudah mapan. Kesimpulannya kehadiran
ekonomi digital tidak bisa dielakkan lagi, perkembangan bisnis e-commerce pun
harus menjadi perhatian.
E-commerce
sendiri ecara sederhana kita pahami sebagai perdagangan online. Kegiatan
e-commerce sendiri meliputi penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang
dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www (world
wide web), atau jaringan komputer lainnya. E-commerce saat ini juga melibatkan
transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen
inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis sendiri.
E-commerce masa dulu
Awal
mulanya e-commerce dikenal sekitar awal 1990-am di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat. Kehadiran e-commerce di Indonesia mulai tumbuh diakhir tahun 1990- hingga
awal tahun 2000. Namun pada masa itu e-commerce di tanah air masih meraba-raba
bentuk, pasar pun masih kecil, belum ada regulasi, logistik masih tingi, dan
cenderung adopsi saja dari negara maju tanpa memperhatikan konten lokal dan
perilaku konsumen kita. Hal ini jadinya seperti sebuah sajian menu makanan tanpa
dilirik oleh konsumen Indonesia, rasa
skeptis dan dinilai tidak lazim dengan nilai-nilai pada masa itu.
Sekilas
feedback, kita mengenal astaga.com dan lipposhop.com sebagai pioneer platform
e-commerce ditahun 2000, namun pemain e-commerce itu hanya mampu bertahan 3-4
tahun dan memutuskan keluar dari bisnis ini plus kerugian investasi hingga
puluhan milyar rupiah. Ini kasus perusahan besar yang “latah” terjuan bisnis
e-commerce diera yang belum tepat dan juga pada masa terjadinya fenomena bubble yang menyebabkan banyaknya
perusahaan dotcom jatuh. Tidak banyak investasi dibidang e-commerce yang sukses
kala itu.
Sepuluh
tahun kemudian barulah pasar mulai terbentuk. Hal ini disebabkan karena
pemerintah juga sudah mengakomodir dalam
hal regulasi seperti adanya UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. DItambah ada sedikit aturan tentang UU No. 7 Tahun
2014 tentang perdangan pada BAB VIII – Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik sedikitnya membantu memperbaiki carut marutnya regulasi tentang
e-commerce. Membuat masyarakat semakin sadar dan mulai mencoba e-commerce
walaupun intensitasnya masih rendah. Adanya paket kebijakan ekonomi XIV tentang
e-commerce di akhir tahun 2016 oleh pemerintah memberi penegasan bagi pelaku
usaha dan bisnis bahwa pemerintah sangat konsen unttuk mengawal bangkit ekonomi
berbasis digital ini.
Ambisi pemerintah dengan
e-commerce
Kondisi
dua dekade silam sangatlah berbeda dengan sekarang kini potensinya sudah sangat
terbuka lebar. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memprediksi
bahwa bisnis e-commerce di tanah air akan mencapai angka US$ 4,89 miliar atau
sekitar lebih dari Rp 68 triliun. Jumlah tersebut diyakini akan terus
berkembang pesat hingga 2020 mendatang.
Pemerintah berambisi menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan kapasitas digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada
2020. Ini didasari bahwa negara kita merupakan salah satu pengguna internet
terbesar di dunia, mencapai 93,4 juta orang dan pengguna telepon pintar
(smartphone) mencapai 71 juta orang. Potensi ini lah sehingga pemerintah
menargetkan bisa tercipta 1.000 technopreneurs dengan valuasi bisnis
sebesar USD 10 miliar dengan nilai e-commerce mencapai USD 130 miliar pada
tahun 2020.
Ada delapan sektor yang dijadikan penguatan pengembangan
e-commerce bagi pemerintah lewat paket kebijakan e-commcer ini. Kedelapan
sektor tersebut adalah pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan
dan sumber daya manusia, logistik, infrastruktur organisasi, keamanan siber,
dan pembentukan manajemen pelaksana.
Sektor logistik misalnya salah satu kendala
belanja online adalah mahalnya biaya pengiriman barang apalagi antar pulau,
kini melalui PT Pos Indonesia sebagai BUMN mulai berbenah dengan mengeluarkan layanan-layanan
dengan biaya yang lebih murah untuk mendukung pelaku usaha e-commerce. Diharapkan
kedepan Pos Indonesia menjadi tulang punggung logistic terhadap aktifitas
e-commerce ini.
Peningkatan infrastruktur telah dipersiapkan oleh
PT Telkom Indonesia dengan membangun tol kabel optik dari Sabang sampai
Meuroke. Tujuan agar tercipta pemerataan system komunikasi di seluruh pelosok
tanah air dengan kualitas yang bagus. Adanya tol kabel optik ini juga akan
membantu bagi pelaku usaha berbasis digital, jadi tidak ada lagi alasan sulitnya akses
internet bagi diseluruh wilayah Indonesia.
Bank Indonesia juga mengeluarkan peraturan
mengenai penyelenggaraan transaksi pembayaran, melalui Peraturan Bank Indonesia
No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk komitmen Bank Indonesia dan
Pemerintah untuk memperbaiki fungsi pembayaran transaksi e-commerce yang lebih
aman dan efisien. Melalui ketentuan tersebut, BI mengatur, memberikan izin dan
mengawasi penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh Prinsipal,
Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir,
serta Penyelenggara Transfer Dana. Hal ini kita kenal dengan Bank Indonesia
Fintech Office yang mana telah di launching pada bulan November lalu.
Adanya perhelatan HARBOLNAS yang ke-4 atau
dikenal dengan hari belanja online nasional yang digagas setiap tahun oleh
pelaku usaha e-commerce melalui Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) memperlihatkan
geliat potensi bisnis e-commerce ini. Tercatat ditahun 2016 harbolnas mencatat sekitar
Rp 3,3 trilyun dalam rentang waktu tiga hari perayaan, ini naik dibanding tahun
lalu 2015 yang hanya Rp 2,4 trilyun. Ini dapat kita simpulkan bahwa masyarakat
atau konsumen Indonesia sudah tidak tabu lagi dengan belanja online.
Pertanyaan kursial saat ini adalah seberapa
siapkah para pengusaha kita merespon perubahan ini? Pelaku bisnis saat ini
ditantang untuk menata ulang bisnis model mereka. Inovasi bisnis mutlak terus
menerus dilakukan. Peluang pasar dari e-commerce yang akan terus bertumbuh
harus dapat kita manfaatkan untuk memperbaiki kinerja bisnis yang merosot
ditahun-tahun sebelumnya.
A.M.Nur
Bau Massepe
Dosen
Pemasaran FEB Universitas Hasanuddin
dimuat Harian Fajar , 26 Desember 2016