Di sebuah perusahaan Jepang yang mengundang saya sebagai
nara sumber, seorang eksekutif puncaknya sempat berargumen lama tentang
sinyalemen yang saya sebut dengan berfikir ala kaca spion. Berjalan ke depan
namun senantiasa melihat ke belakang.
Saya bisa memaklumi, kalau banyak rekan dari Jepang yang
tidak setuju dengan hal terakhir. Secara lebih khusus, karena mereka sudah
memiliki tradisi yang lama dan panjang tentang kegemaran mengutak-atik data
yang telah lewat. Jangankan mengambil keputusan, bermain golf saja mereka
disertai dengan data-data score cards masa lalu. Dalam bingkai berfikir ala
kaca spion ini, satu-satunya cara untuk bisa hidup di hari ini, dan selamat di
hari esok adalah dengan jalan mempelajari apa yang sudah lewat.
Ini semua mengingatkan saya, pada keyakinan-keyakinan yang
ditanamkan secara berlebihan oleh kaum empiris dalam ilmu pengetahuan.
Manajemen, melalui sejumlah tokohnya seperti Taylor yang menciptakan scientific
management, juga terkena sindroma kaca spion. Kelompok Aston yang menjadi salah
satu cikal bakal pendekatatan kontingensi - yang memiliki banyak sekali
penganut sampai sekarang dalam dunia manajemen - juga membangun argumennya di
atas kaca spion. Diktum 'structure follows strategy' yang pernah dikemukakan
seorang guru besar Harvard, serta memiliki penganut sampai sekarang, juga
dibangun di atas tumpukan data masa lalu yang mengagumkan. Administrative
Science Quarterly- sebuah jurnal manajemen berpengaruh yang diterbitkan MIT,
dan penulisnya kebanyakan bergelar Ph.D sangat kuat diwarnai oleh
penelitian-penelitian empiris yang amat mereka banggakan.
Nah, sekarang saya ingin membawa persoalan ini ke dalam
pengandaian makan roti. Semua orang saya yakin - termasuk Taylor, kelompok
Aston, Alfred Chandler serta pananggung jawab Administrative Science Quarterly
- lebih menyukai roti yang fresh from the oven. Tidak ada yang mau memakan roti
busuk hasil simpanan bertahun-tahun lalu.
Mirip dengan makan roti, manajemen yang lahir dari kumpulan
data masa lalu, tidak membuat kepala manusia menjadi fresh. Tidak tertutup
kemungkinan, malah membuat kepala kita menjadi roti busuk yang tidak berguna.
Ini bisa terjadi - sebagaimana sudah sering saya tulis - karena semakin sedikit
sejarah yang muncul dalam bentuk pengulangan. Sebagaimana sebuah pepatah Cina :
'we can not step into the same river twice'. Sebab, sebagaimana sungai,
kehidupan setiap detik berganti.
Sayang seribu sayang, di manapun orang belajar manajemen
secara formal, senantiasa dihadapkan pada ribuan kaca spion. Ada kaca spionnya
Drucker, Porter, Kotler, Ohmae, Mintzberg dan ribuan kaca spion sejenis. Bila
kaca spion ini dibuat di tahun 1990-an masih mending. Tidak sedikit yang lapuk
karena ditulis di tahu 50-an.
Tidak heran kalau Robert M.Pirsig - penulis novel Zen and
The Art of Motorcycle Maintenance yang disebut Time sebagai unforgetable trip -
pernah menulis : 'Isaac Newton ia a very good ghost. One of the best. Your
common sense is nothing more than the voices of thousands and thousands of
these ghost from the past'.
Dengan demikian, tidak hanya manajemen yang dirasuki 'hantu'
masa lalu. Semua sendi-sendi ilmu pengetahuan - meminjam argumen Pirsig - juga
dirasuki oleh 'hantu-hantu' terakhir.
Anda tentu saja bertanya, kalau demikian kemana kita harus
menoleh ? Terus terang, saya memang bukan pemegang bola kristal yang langsung
bisa menunjuk sebuah jurus atau kiat. Di kolom ini, tugas saya lebih dekat
dengan upaya menggoyahkan apa yang telah mapan dan membelenggu. Untuk kemudian,
kembali ke dunia pengamatan yang segar dan jernih.
Memang, ada banyak cara untuk sampai ke tataran fresh mind.
Namun, sangat penting untuk membersihkan fikiran dari 'kotoran-kotoran' masa
lalu. Saya memilih untuk menantang dan mempertanyakan semua otoritas masa lalu
- termasuk otoritas yang saya pernah buat sendiri.
Seorang peserta seminar dalam topik Crazy Times Call For
Crazy People, pernah bertanya ke saya tentang skenario ke depan. Jawaban
warasnya, siap-siaplah kita berhadapan dengan perekonomian yang dibangun di
atas perusahaan-perusahaan skala menengah. Jawaban 'gila'-nya - dan ini yang
lebih saya rekomendasikan - berfikirlah keluar dari segala bentuk skenario.
Dalam dunia fresh mind, tidak diperlukan skenario. Apa lagi skenario
'jika-maka'. Yang ada hanyalah melihat tanpa mengkerangkakan. Mengutip sebuah
pepatah Zen, sebesar apapun telunjuk yang digunakan untuk menunjuk bulan, tetap
tidak akan bisa mewakili wajah bulan yang sebenarnya. Demikian juga dengan
skenario.
Meminjam argumen guru meditasi saya di Inggris sana :
'jumping into the unknown, dying from all the pasts and future ideals, live the
present just as they are'.
Jadi, diperlukan keberanian untuk melompat ke wilayah
fikiran yang tidak diketahui. Mati dari masa lalu dan idealitas masa depan.
Serta hidup di masa kini sebagaimana adanya.
Kembali ke pangandaian semula tentang makan roti, inilah
yang saya sebut dengan roti manajemen yang fresh from the oven. Bukan roti
majajemen busuk yang sudah lama membuat kita terkejut, terkaget dan hidup asing
dari masa kini yang senantiasa segar.
Ah, ini hanyalah sekumpulan fikiran yang kerap disebut
utopis oleh sejumlah orang - terutama kaum empiris. Mereka yang membenci
ketidakjelasan ini, bahkan menyebut saya makar dan provokator. Namun,
dibandingkan dimakari dan diprovokator oleh kecenderungan, saya lebih memilih
untuk memprovokator dan memakari fikiran-fikiran saya sendiri.
Konosuke Matsushita, Thomas J. Watson, Bill Gates, Abraham
Lincoln, Mahatma Gandhi, Lady Diana, Ibu Theresa, Cory Aquino, Winston
Churchill adalah sebagian kecil dari deretan manusia yang menjadi provokator
dan tukang makar bagi fikiran-fikirannya sendiri.
Anda juga saya harapkan bisa menjadi provokator dan tukang
makar tidak hanya bagi fikiran Anda, tetapi juga bagi fikiran gombal yang
menjadi fundamen tulisan ini. Tanpa itu, kita hanya mengulangi sejarah
manajemen yang berjalan sudah amat lama dan panjang : memakan roti busuk.
Oleh
Gede Prama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar