Sewaktu usiaku belum lima tahun, aku hampir tak pernah mengenalnya. Bukankarena usiaku yang belum bisa mengenal secara detail siapapun, tapi lebihkarena pria ini hampir tidak pernah kujumpai. Kecuali sesekali di hariminggu, ia seharian penuh berada di rumah dan mengajakku bermain. Namunmeski sekali, aku merasa sangat senang dengan keberadaanya.
Sejak aku mulai sekolah hingga masa remaja, aku menganggap pria ini tidaklebih dari sekedar pria tempat ibu meminta uang bulanan, juga untukkeperluan sekolahku dan adik-adikku. Tidak seperti anak-anak lainnya yangmempunyai seorang pria dewasa yang membela mereka saat berseteru denganteman mainnya, atau setidaknya merangkul menenangkan ketika kalah berkelahi,aku tidak. Pria dewasa yang sering kujumpai di rumah itu sibuk dengan semuapekerjaannya.
Hingga aku dewasa, pria ini masih kuanggap orang asing meski sesekali iamengajariku berbagai hal dan memberi nasihat. Sampai akhirnya, kutemukanpria ini lagi sehari, dua hari, seminggu, sebulan dan bahkan seterusnyaberada di rumahku. Rambutnya sudah memutih, berdirinya tak lagi tegak, iatak segagah dulu saat aku pertama mengenalnya, langkahnya pun mulai goyahdan lambat.
Kerut-kerut diwajahnya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup yang telahdilaluinya. Bahkan suaranya pun terdengar parau menyelingi sakit yang seringdideritanya.Kini pikiranku jauh melayang pada sayup-sayup suara ibu, sambilmenyusuiku ia memperkenalkan pria ini setiap hari, "nak, ini ayah ?" meskiaku pun belum begitu mengerti saat itu. Bahkan menurut ibu, pria ini justruyang pertama kali menyambutku ketika pertama kalinya aku melihat dunia.Cerita ibu, karena pria ini yang mengantar, menemani ibu hingga saatpersalinan. Bahkan suaranyalah yang pertama kudengar dengan lembut meneroboskedua telingaku dengan lantunan adzan dan iqomat hingga aku tetap mengenalisuara panggilan Allah itu hingga kini.
Dari ibu juga aku mengetahui, bahwa ia rela kehilangan kesempatan untukmencurahkan kasih sayang dan cintanya kepadaku demi bekerja seharian penuhsejak dinginnya shubuh masih menusuk kesunyian hari saat aku masih tertidurhingga malam yang larut ketika akupun sudah terlelap. Ia tahu resiko yangharus diterimanya kelak, bahwa anak-anaknya tak akan mengenalnya, tak akanlebih mencintainya seperti mereka mencintai ibu mereka, tak akanmenghormatinya karena merasa asing dan tidak akan memprioritaskanperintahnya karena hampir tak pernah dekat. Tapi kini kutahu, ia lakukansemua demi aku, anaknya. Ibu juga pernah bercerita, pria ini selelah apapunia tetap tersenyum dan tak pernah menolak saat aku mengajaknya bermain danterus bermain. Ia tak pernah menghiraukan penat, peluh dan lelahnya sepulangkerja demi membuat aku tetap senang. Ia tak mengeluh harus bangunberkali-kali di malam hari bergantian dengan ibu untuk sekedar menggantikanpopok pipisku atau membuatkanku sebotol susu. Dan itu berlangsung terusselama beberapa tahun, yang untuk semua itu ia ikhlas menggadaikan rasakantuknya. Kusadari kini, semua dilakukannya untukku.
Untuk sebuah cinta yang tak pernah ia harapkan balasannya. Seperti halnyaibu, ia juga rela ketika harus terus menggunakan kemeja usangnya untukbekerja, atau celananya yang beberapa kali ditambal. Kata ayah sepertidiceritakan ibu, uangnya lebih baik untuk membelikan aku pakaian, susu danmakanan terbaik agar aku tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Terima kasih Ayah, kutahu engkau juga tak kalah cintanya kepadaku dengankecupan hangatmu saat hendak berangkat kerja dan juga sepulangnya ketika akuterlelap. Meski tak banyak waktu yang kau berikan untuk kita bersama, namunsedetik keberadaanmu telah mengajarkan aku bagaimana menjadi anak yangtegar, tidak cengeng dan mandiri. Kerut diwajahmu, memberi aku contohbagaimana menghadapi kenyataan hidup yang penuh tantangan.
Maafkan aku Ayah, aku tak pernah membayangkan sedemikian besar cinta danpengorbananmu kepadaku. Ayah tak pernah mengeluh meski cinta dan pengorbananitu sering terbalaskan dengan bantahan dan sikap kurang hormatku. Meskikasih sayang yang kau berikan hanya berbuah penilaian salahku tentangmu.
Jangan menangis Ayah, meski kini kau nampak tua dan lelah, bahu danpunggungmu yang tak sekekar dulu lagi, bahkan nafasmu yang mulai tersengal. Ingin aku bisikkan kepadamu, "Aku mencintaimu"
(Author Unknown)
BONUS :Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup,tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.( Barbara Brown Taylor )
1 komentar:
Bila pada suatu masa seorang pria dewasa membenci ayahnya itu masih normal, suatu sindrom otoritas lelaki.
Bersukur , anda bisa mengendalikannya dan tidak berubah menjadi suatu abnormalitas.
Permusuhan yang tidak jelas,sebab musababnya, persoalan sepele yang memicu perang dunia ketiga di dlm rumah.
Posting Komentar