Selasa, April 12, 2005

Kawan mental pekerja dan kawan mental pengusaha

Lulus kuliah, bingung?
Pernah gak sih merasa kebingungan setelah lulus dan wisuda akan kerja dimana dan ngapain setelah lulus?
Ada banyak arlternatif toh…, and banyak pilihan karir, setidaknya,
dengan pendekatan empat quadrant dari Robert Kiyosaki, Jadi Employee, Self-employee, business owner dan investor. Saya lebih tertarik membahas dua kuadran yakni sebagai employee dan business owner (pemilik bisnis sendiri). Saya saranin tidak salahnya membaca karya Robert Kiyosaki, dengan catatan tidak harus mengikuti pola pikirnya, sekedar tahu saja. Kalau pun nantinya se ide, tidak ada salahnya Anda menjadi pengikutnya.

Sedikit berbagi mengenai Kiyosaki-isme, semenjak bukunya diterjemahkan oleh Gramedia, tahun 2000, Dia berhasil menularkan virus wirausaha ditanah air. Saat ini orang-orang sepertinya “latah” ingin memiliki usaha sendiri,dengan berbagai macam alasannya. Saya tidak tau apakah mereka sekedar ikut tren, baru baca satu dua bab buku Kiyosaki, kemudian berapi-api ingin punya usaha sendiri. Pokoknya punya usaha sendiri..!!

James T.Redd, menulis buku kalo tidak salah judulnya “Ayah kaya sebenarnya tidak kaya”, dengan sengaja melakukan ”riset” dan investigatif terhadap kehidupan Kiyosaki. Dia menemukan bukti bahwa ayah kaya Kiyosaki itu sepernahnya tidak ada, cuman toko imajinasi. Kiyosaki pun tidak mampu memberi kejelasan tentang dimana keberadaan si Ayah Kaya. Malah yang kontra terhadapnya menyatakan bahwa Kiyosaki tak lain adalah seorang pengarang, bukan sebagai bisnisman. Terlepas dari itu, saya cuman menggaris bawahi, tak masalah Ayah kaya itu ada apa tidak, tetapi ide dan pemikiran Kiyosaki lah yang kita pelajari. Selanjutnya terserah Anda yang mengkritisinya.


Dibawah ini sedikit share dan cerita yang tentu saja sangat subjektif, mengenai kewirausahaan dan dunia kerja setelah lulus dari perguruan tinggi.

Employee mentality, (pegawai)
Umumnya pola pikir yang paling banyak mewarnai budaya dinegara kita bahwa setelah lulus adalah menjadi pegawai negeri sipil alis PNS, Tapi..mm kayaknya sekarang sudah mulai berubah, sekarang sudah banyak yang berpikir mau jadi pegawai swasta, di BUMN, multy national company, atau berkariri diperusahaan Minyak dan Energi kayak Pertamina atau Haliburton itu. Rata-rata Gak mau lagi jadi pegawai negeri, saya jadi ingat lelucon teman di suatu daerah kalao tidak salah di Pekalongan, konon anak gadis nya akan sangat takut kalau dijodohkan dengan suami yang bekerja sebagai pegawai negeri. Mereka takut karena PNS katanya gajinya kecil.

Bukan berarti PNS jelek, ini masalah selera dan pilihan hidup. Buktinya penerimaan PNS ditahun 2004 kemarin masih diminati, berarti bagi sebagian orang walaupun gajinya tidak sebanding dengan swasta, disisi lain memberikan jaminan dan kepastian. Beruntung di era Gus Dur presiden, gaji PNS malah naik, dan pelan-pelan mulai naik. Mungkin yang bercita-cita jadi PNS, sebaiknya bukan melihat faktor gaji, tapi nilai dari seorang Pamong, sebagai abdi negara yang dikedepankan.

Intinya sih bekerja pada orang lain, dan hasil kerja kita dihargai dengan gaji yang kita terima setiap bulan. Beberapa "keuntungan" yang diperoleh dengan bekerja sebagai pegawai dalam hal ini kerja disektor swasta seperti di perusahaan multinasional, Yaitu kita belajar mengenai suatu sistem kerja diperusahaan tersebut. Misalnya kita kerja dibidang marketing, maka kita akan bekerja dan belajar format dan suatu strategi pemasaran yang diterapkan diperusahaan tersebut. Bagaimana misalnya teknik memprospek, teknik promosi, teknik selling, dan macam-macam lagi aktifitas yang berhubungan dengan pemasaran. Kerja juga akan lebih terarah, tinggal kita running system yang sudah ada. Enak kan,.. tinggal ikutin aja, dan tentunya setiap bulan salary kita terima. Pola laku para kaum pekerja tersebut di setiap weekend wah, mereka gembira ria, karena bisa refreshing dari segala tugas dan rutinitas kantor. Sewaktu saya penelitian di Jakarta, ketemu dengan teman-teman SMA yang memang rata-rata jadi employee, pola hidupnya kayak begitu (walaupun tidak semua), apalagi masih bujang, tempat yang dipilih tuk refresh kalau bukan hard rock, bilyard, CITOS atau tempat sejenisnya lah....saya turut kecipratan rejeki dengan jalan ditraktir hehehe. (Terima kasih ya kapan2 gantian deh ).

Kebayakan yang saya lihat begitu bekerja, membelanjakan uang dari gaji bulanan suatu tindakan yang tidak tertahan kan lagi. Biasanya sih, dipake untuk mentraktir teman-teman, beli barang yang istimewa buat orang yang istimewa. Ganti handphone, mulai menyicil rumah, ataupun kendaran pribadi. Setelah dua tahun, mulai berani punya kartu kredit, apalagi yang dikeluarkan oleh Citibank, buat dikipas-kipas akan sangat ok…boo Hahaha. (saya cuman merasa in aja maklum belum punya, kaciiaann). Mungkin gaya hidup seperti itu biasanya bagi yang berstatus masih “single” tapi yang sudah “married” mungkin akan berbeda, karena mereka sudah harus berpikir lebih jangka panjang lagi.

Perilaku dan mental bekerja pada orang lain, akan mengedepankan unsur-unsur jaminan gaji, kepastian jenjang karir, ketersediaan fasiltas seperti biaya kesehatan, biaya komunikasi dan lainnya jadi variable yang menarik untuk dipertimbangkan.

Akhirnya saya paham mengapa banyak perilaku kawan-kawan yang berganti-ganti kerjaan takala ada tawaran gaji dan fasilitas yang lebih menarik. Terkenal tidaknya perusahaan, dan asyik apa tidak si bosnya, makan hati apa gak kalau kerja disana. Karena mereka mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan (walaupun kembali lagi ini masalah selera, yang kata Aristoteles, bila menyangkut selera adalah sesuatu yang tidak dapat diperdebatkan).

Mungkin ini sebuah “tradisi” bagi kaum pekerja, yang dalam hati juga saya kecut mengetahui dengan penampilan keren, baju bermerek, aksesoris dan alat komunikasi yang canggih ternyata mereka masih dibelit oleh masalah keuangan. Alias tidak punya saving, kawan SMA saya pun dengan berkaca-kaca ber-biskal (baca: Curhat) bingung melihat uang gaji bulannya hilang entah kemana dan tidak punya tabungan sama sekali. Alias carru… hahaha (boke’ deh), bagaimana mo pake nikah atau naek haji…haha

Teman yang dikuadran “B”

Berteman dengan kawan yang bermental wirausaha atau business owner (B). Lain lagi ceritanya. Setidaknya sudah banyak teman-teman saya yang memilih dan memutuskan bahwa setelah lulus, tidak perlu mencari kerja diperusahaan lagi. Kata teman S2 saya yang asal di Kalimantan, “kerja sama orang itu makan hati”.!! Mungkin pengalaman pribadinya yang pernah merasakan kerja disebuah perusahan sebelum mengambil S-2 memberi kesan tersendiri makanya dia tidak memutuskan untuk bekerja sama orang lagi.
Makanya setelah wisuda dia tidak seperti teman lainnya, yang sibuk mendesain Currículum Vitae (CV), dia pun sibuk ke Notaris untuk membuat CV perusahaannya.

Gampang? Mendengar kisah-kisahnya, ternyata tidak mudah juga. Awalnya harus ditentang dengan orang tua yang memang bermetal dan berpola pikir seorang pekerja diperusahaan minyak. Orang Tua menginginkan sang anak untuk bekerja diperusahaan yang lebih besar dari tempatnya bekerja. Kalau hanya usaha seperti itu, buat apa sekolah sampai S-2, kata orang tua teman itu.

Mendirikan usaha itu memang bukan lah semanis dan seindah cita-cita dalam pikiran kita. Ada banyak persoalan, penolakan kerja sama, di tipu rekan bisnis adalah bagian dari perjalanan menjadi pengusaha sukses. Belum lagi di tinggalin teman-teman, yang memang terjadi dengan kawan saya tersebut. Disirik-sirikin sama kawan, tetangga maupun keluarga sendiri. Nampaknya “penderitaan’ dan cobaan” yang dialami seorang wirausaha lebih banyak dibanding orang yang bekerja. Semuanya menjadi tangung jawab sang pemilik usaha.

Dibudaya kita, persepsi bekerja adalah datang pagi dengan pakaian kantor pulang sore. Kalaupun dia pengusaha, dia dianggap tidak bekerja terkadang dituduh sebagai pengangguran. Walaupun punya usaha warnet misalnya, jadwal kerja tidak tentu alias kadang siang, kadang malam, tetap saja oleh sebagian masyarakat kita itu bukan suatu pekerjaan.

Aneh memang, apa ini dampak dari penjajahan dari kolonial Belanda. Soalnya jaman dulu yang menjadi pegawai Belanda itu, dikasih seragam, masuk pagi pulang sore. Dan terlihat keren dan mentereng. Sehingga masyarakat lebih terbiasa melihat yang fisik dibanding esensi, yang kalau dari jaman dahulu sampai sekarang namanya pegawai itu tak lain dan tak bukan bahasa kasarnya adalah “buruh”.

Malam hari pun kadang harus mikir besok harus ngapain, bagaimana kas perusahaan bertambah, bagaimana perusahaan ini dapat dikenal oleh konsumen, bagaimana dan bagaimana lainnya. memang sungguh berat pikirku.
Makanya tidak semua orang mau jadi pengusaha dan tidak semua mau melakukan hal-hal diatas.

Beda konsep mengenai pendapatan
Hal menarik adalah perbedaan terhadap konsep pendapatan, Orang bekerja akan menerima gaji. Pengusaha akan menerima laba atau rugi kemudian di investasikan lagi. Orang bekerja tentu akan mendapat gaji setiap bulan, beserta fasilitas-fasilitas yang ada. Yang dicari memang keamanan (jaminan pendapatan), yah keamanan finansial, asal saja jangan sampai kita seperti perlombaan tikus dalam buku Kiyosaki itu. Gali lubang tutup lubang diakhir bulan dengan gaji kita dan pinjaman-pinjaman.

Menjadi pengusaha juga akan berurusan dengan pinjaman (utang), tapi saya melihat kontesnya lain, pinjaman ini untuk memenuhi kebutuhan arus kas mereka, dan memperbanyak asset mereka. Apa itu asset? waduh susah saya jelaskan, yang jelas bukan seperti dibuku Akuntansi, karena menurut ku assets masing-masing setiap orang berbeda. Kalau Kiyosaki mengatakan sesuatu yang memasukan uang dikantongmu.
Bila laba, tentu dapat duit, bila tidak dapat jadinya rugi.

Bila kita seorang employee, penghasilan kita bernama gaji beserta bonus, bila kita seorang pengusaha, penghasilan bernama pendapatan, yang besarnya tidak menentu, cenderung membesar atau sebaliknya.

Didunia pengusaha, bila perusahaan satu sukses mereka akan berpikir dan ver-ide lagi untuk membuat suatu usaha lagi dan mewujudkannya. Nampaknya resiko dan ketidak pastian merupakan makan sehari-hari mereka. AKhirnya saya sadar memang tidak semua orang mau menjadi pengusaha karena “resiko” fisik maupun non fisik yang dihadapinya.

Saya tidak mengatakan jadi pengusaha susah, buktinya banyak yang berhasil. Saya juga tidak mengatakan bahwa bekerja sama orang lain itu enak, karena ada hal yang harus dibayar juga yakni, makan hati, ikutin kata bos, menjalankan sesuatu yang belum tentu kata hati kita inginkan.

Saya jadi ingat suatu kejadian, waktu mengambil mata kuliah konsentrasi. Karena saya “bebas” dan tidak terikat, saya dengan kehendak bebas untuk memilih konsentrasi e-business. Dan Sibuk promosi sana sini. hhaha. Sewaktu bercakap dengan teman kuliah yang lebih señior dan punya jabatan sebagai manager produksi sebuah perusahaan besar di Kalimantan, beliau secara pribadi sangat menginginkan untuk mengambil mata kuliah strategy, tapi karena mendapat telpon dari sang bos, harus mengambil jurusan marketing karena perusahaan membutuhkannya dia menguasai subjek itu. Padahal saya tahu kawan kuliah saya itu mati-matian mencaci maki pelajaran marketing pada semester satu, menurutnya mata kuliah yang mengada-ngada dan tidak masuk akal, tapi karena sang bosnya itulah, makanya harus melahap juga mata kuliah marketing. Belum lagi di waktu luang yang seharusnya dipakai beristirahat, tapi ada telpon dari sang bos, harus ke Jakarta untuk bertemu, maka waktu-waktu itu pun harus ditinggalkannya bertemu sang bos. Yah, memang seorang karyawan yang baik, dan loyal.

Intinya sih bekerja sama orang kita memiliki sedikit kebebasan (independent) dalam memutuskan dan memilih sesuatu. Tidak ada yang salah terhadap semua itu, pertanyaan kembalil ke diri sendiri, bersediakah?

Pencarian jati diri
Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa untuk menjawab pertanyaan mau jadi apa, pengusaha atau bekerja untuk orang lain, Bagi saya kita harus berkecimpung di dunia yang berbeda itu dulu semuanya. Bersyukur semuanya sudah saya lalui. Walaupun niat tuk kerja di perusahaan besar seperti Astra, Unilever, IBM, dan sebagainya belum terwujud, tapi saya pahami bahwa kedua dunia antara bekerja dengan orang lain dan usaha sendiri adalah dua dunia yang berbeda “idealisme” dan “ruh” nya.

Tidak juga akan dipahami dibangku kuliah seperti program magister manajemen. Dibangku kuliah saya sadar itu hanya bercuap-cuap dan mengisi VISI hidup kita (baca sekedar informasi atau pengetahuan), makanya saya yakin seorang yang berpengetahuan banyak seperti dosen belum tentu akan paham alias merasakan apa yang dipelajarinya lewat teks book. Contohnya misalnya di sekolah kita diajarkan bahwa api itu panas, bila sang dosen belum pernah menyentuh api, dari mana dia tahu kalau itu panas, dan panas itu seperti apa? Bukankah hanya dunia cuap-cuap belaka. Benarkan..? (kalo begitu mengapa masuk kuliah ya heheh,.......ini masalah selera)

Semuanya akhirnya membawa saya pada sebuah kesimpulan, pertanyaan bukan akan kerja dimana kita atau mau jadi apa? Saya lebih setuju pertanyaan yang kita ajukan SIAPAKAH diri kita dan APA TUJUAN HIDUP kita. Ilmu manajemen strategy, mengajari saya bahwa awal mulanya terletak pada VISI dan MISI (hidup kita). Tidak perlu dijelaskan sudah pada tahu semua bila yang berkualiah sekolah manajemen.

Kemudian melakukan assesment terhadap kekuatan internal dan eksternal yang kita miliki. Saya lebih sarankan untuk fokus pada kekuatan internal yang kita miliki, seperti bakat, minat dan kemampuan (core competence) yang telah kita miliki saat ini. Kemudian mengembangkan suatu program kerja, yang berorientasi pada suatu tujuan jangka panjang dan pendek dalam hidup ini. Setalah itu memilih strategi sebelum bertindak menjalan kan suatu tujuan (objective) yang telah kita tetap kan. Dan memasuki tahap evaluasi. Bukankah mudah untuk menuliskannya?

Terkadang saya sering terjebak, untuk menguasai semua, padahal belum tentu itu saya berbakat disana. Manusia harus belajar untuk tidak angkuh dan sombong. Saya sadar ada bakat khusus yang di anugerahkan Tuhan buat saya didunia ini. Mengapa bakat dan kemampuan saya itu tidak saya perdalam dan asah terus menerus dari pada keahlian yang lain tapi saya tahu tidak akan bisa optimal lebih baik. Setelah mengetahui dari Howard Gardner ternyata ada tujuh kecerdasan setiap manusia yaitu; linguistik verbal, numerik, spasial, fisik/raga, interpersonal, intrapersonal, lingkungan. Akhirnya saya sadar kenapa prestasi akademik saya tidak excellent. Tapi bukan berarti tidak bisa. Mengapa seorang kawan yang IPK nya tinggi tapi tidak bisa menghargai pendapat atau berempati dengan yang lainnya dalam suatu belajar kelompok. Mengapa ada yang pintar di bidang seni, tapi di olah raga dia sama sekali terbelakang. Kita memang harus belajar terus menerus mengembangkan potensi diri kita dan mengenal diri kita lebih baik. Selain terus menerus mempelajari perkembangan yang terjadi diluar sana.

Kita lahir dan hidup didunia, telah mengemban suatu misi yang harus kita temukan kembali dengan segala potensi yang telah melekat. Misi yang lebih bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi bagi keluarga, masyarakat dan negara. Kalaupun Anda sepakat... dengan kalimat tadi yang saya sering temukan disetiap buku-buku yang mengupas kisah sukses orang-orang berpanguruh didunia ini dan saya yakini.

Tentu pertanyaan kembali pada diri sendiri, Jikalau VISI dan MISI hidup kawan-kawan adalah bekerja di sebuah perusahaan dan loyal terhadap perusahaan tersebut sampai pensiun dan mati, Berarti memang disitulah takdir kita dilahirkan dimuka bumi ini.
Tapi kalau saya sih lain, masih banyak yang bisa saya kerjakan bagi banyak orang dari pada bekerja disebuah perusahaan seumur hidup walaupun menawarkan program pensiunan yang menarik. Bagaimana dengankamu?


by:
Andi Nur Baumassepe
April 05. Jogjakarta
Mas_pepeng@yahoo.com

Budaya gaul, buka-bukaan (budaya friendster)

Bagaimana budaya gaul anak muda diabad informasi saat ini? Tentu sangat berbeda bila flash back ke zaman kakek dan nenek kita dimasa-masa kemerdekaan. Dahulu, hanya mengenal surat menyurat sebagai alat komunikasi primer. Teknologi Telepon diperkenalkan di awal tahun 60-an, penggunaan nya pun terbatas untuk kepentingan pemerintahan, militer dan bisnis. Masih jarang untuk penggunaan individu apalagi digunakan untuk menjalin hubungan sosial (networking). Tahun pun berganti, kemudian kita mengenal bentuk-bentuk lain, seperti mesin faks, ada lain teknologi wireless (nge-break), akhirnya ditemukan internet dan teknologi mobile sampai saat ini.

Apa yang membedakan metode komunikasi tersebut dan Apa dampak perilaku yang terjadi pada kepribadian manusia-manusia penggunanya? Mungkin terlalu subjektif, karena tidak didasari oleh suatu dasar penelitian, tetapi bila kita mengamati akan didapatkan suatu fenomena yang cukup menarik untuk diamati.

Pertama, hal yang paling nampak dengan adanya alat telekomunikasi (internet), manusia zaman sekarang “dipaksa” untuk lebih terbuka (istilah saya- buka-bukaan) sehingga dapat diakses oleh siapapun dan darimanapun. Pada kasus friendster misalnya, tahap registrasi, vendor meminta untuk mengisi biodata, seperti umur, asal sekolah, tempat tinggal, musik dan film favorit, sampai ke bagian yang menyangkut personality (pribadi).

Perbuatan ini sadar atau tidak adalah suatu cara “buka-bukaan” diri kita kepublik. Jangan terkejut misalnya, melihat profile seorang kawan yang ternyata didunia nyata kita kenal tertutup dan pendiam, begitu membaca profilenya di friendster ternyata kawan itu menyenangi hal-hal yang tidak kita duga sebelumnya dalam hal musik atau pun kegemarannya terhadap program acara. Berarti orang tersebut boleh dibilang tidak tertutup lagi karena telah membuka dirinya, apa kegemarannya, plus dengan testimonial yang diberikan oleh teman-temannya.

Refleksikan dizaman dahulu, bentuk komunikasi antara kaum muda tidak se interaktif saat ini. Dahulu, bila ingin mengenal seseorang, akses yang ada adalah berupa alamat rumah, ataupun telepon rumah. Beruntung bila punya akses dengan mengenal kawan dekat seorang yang kita sedang incar itu. Bila berkirim surat belum tentu surat itu akan dibaca, syukur kalau melewati sensor dari orang tuanya. Bertelepon tentu juga terbatas, karena tidak selamanya idola kita itu ada dirumah, dan sekali lagi syukur-syukur kalau orang tuanya baik, kalau tidak suatu hal yang biasa mereka katakana bila menjawab permintaan kita via telepon “si anu lagi sibuk tidak boleh diganggu”. Kring.!!

Fenomena buka-bukan, menurut saya adalah suatu budaya global. Sangat terasa spirit globalisme nya. (Terlepas kita pro atau kontra dengan kata Globalisasi). Tentu media buka-bukan ini buka hanya lewat internet seperti friendster itu. Alat komunikasi lainnya yang takala power full agar diri kita dapat diakses oleh publik adalah mobilephone alias HP. Kenalan dengan cewek saat ini begitu mudah, tahu nomor HPnya cukup lewat sms-an, kalau dia tertarik janjian ketemuan di mall, tanpa perlu pake izin macam-macam orang rumah. Ortu mana tahu lagi isi sms pacaran anak muda sekarang. Kalau mereka membaca nya tentu akan sering terdengar kata Astagfirullah.!

Globalisasi saya artikan membuka segala sekat-sekat yang ada. Global berarti sejagad, tidak mengenal lagi batas-batas apakah kebangsaan, suku, agama atau ras. Ekonomi pun menjadi tulang punggung dari globalisasi, dengan senjata adalah semakin maju dan canggihnya teknologi komunikasi, maka kita pun semakin lumer dengan dunia ini. Saya tidaklah menguasai konsep globalisasi itu, tapi menurut saya seperti itulah.

Apa sih hubungan antara itu semuanya dari yang saya tuliskan dari awal? Coba saja, masyarakat yang tertutup atau eklusif tentu akan sangat sukar untuk menerima sesuatu yang baru. Masyarakat yang open minded lah yang dapat menerima sprit globalisasi ini dengan berbagai media seperti TV, radio, internet dan lainnya. Lalu, apa hubungannya dengan friendster tadi?

Nah disini yang menarik, friendster saat ini kalau kita amatin hampir sebagian besar penggunannya adalah anak mudah. Skala range umur sekita 14-35 tahun. Penghuni terbesar berusia antata 17-25 tahun. Usia-usia yang masih panjang, dan jauh dari kematangan. Sadar tidak sadar habit yang dimuncul kan adalah mengajari kita untuk terbiasa “buka-bukaan”. Kita mulai dibiasakan dengan hal-hal yang lebih inklusif, menerima perbedaan, lebih mengedepankan nilai kebebasan ekspresi dan berpendapat, ujung-ujungnya adalah suatu nilai baru bagi kita yakni nilai yang lebih universal seperti persahabatan, perdamaian, kegembiraan, kepedulian dan sebagian lagi dampak negatif yang terikut kedalamnya.

Setelah tertanam kebiasa “buka-bukaan” itu, tentu akan menimbulkan nilai-nilai baru. Akan tentu sulit dimengerti oleh orang tua kita atau manusia yang dilahirkan sebelum Internet ditemukan dipertengahan tahun 70-an. Orang tua akan merasa sangat tidak masuk akal, menikah dengan seorang kekasih yang terjalin dengan cyber love. Petuah jaman dulu seperti memilih jodoh berdasar bibit, bobot dan bebet pun nyaris dilupakan lagi. Mungkin orang tua akan menganggap kita gila, atau sebaliknya kita menganggap orang tua kita betapa kolot nya. Nilai-nilai baru inilah yang terus menerus kita perbaharui yang pasti sering menimbulkan konflik individu (dalam diri) maupun masyarakat.

Saya sendiri berpikir apakah gerakan buka-bukaan ini apakah suatu agenda besar, antara negara kuat dengan dominasi teknologinya untuk menguasai negara-negara lemah seperti Indonesia, untuk kepentingan mempertahankan pasar (kekuatan ekonomi). Dimana mereka menerapkan prinsip “edukasi” pasar, membiasakan kita untuk memiliki nilai-nilai baru yang ber-spirit “buka-bukaan” itu, sehingga kita pun dengan mudah mengadopsi budaya yang hasil akhirnya mengubah perilaku kita, sehingga barang yang diproduksi oleh mereka (baca dijual) kita pun dengan mudah mengadopsinya sebagai bentuk “kebutuhan” baru, yang jangan-jangan kita pun tidak butuh. Pesannya, kita telah di edukasi oleh nilai-nilai globalisasi.

Sebaiknya kita berprasangka baik saja. Ini merupakan suatu kekuatan alam, istilahnya sunnatullah (ketetapan Ilahi), dimana ini merupakan agenda alam, agenda Ilahi yang tersebunyi dalam kebinggungan kita hidup disaman yang bergerak cepat ini. Menuju perbaikan-perbaikan nilai-nilai kemanusian kita. Yah yang seperti cita-cita bangsa ini termakhtub pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Wallahu wa ‘allam.




Andi Nur BM
Maret 2005, Jogja

Kamis, Maret 24, 2005

Maafkan Aku ayah.!!

Sewaktu usiaku belum lima tahun, aku hampir tak pernah mengenalnya. Bukankarena usiaku yang belum bisa mengenal secara detail siapapun, tapi lebihkarena pria ini hampir tidak pernah kujumpai. Kecuali sesekali di hariminggu, ia seharian penuh berada di rumah dan mengajakku bermain. Namunmeski sekali, aku merasa sangat senang dengan keberadaanya.
Sejak aku mulai sekolah hingga masa remaja, aku menganggap pria ini tidaklebih dari sekedar pria tempat ibu meminta uang bulanan, juga untukkeperluan sekolahku dan adik-adikku. Tidak seperti anak-anak lainnya yangmempunyai seorang pria dewasa yang membela mereka saat berseteru denganteman mainnya, atau setidaknya merangkul menenangkan ketika kalah berkelahi,aku tidak. Pria dewasa yang sering kujumpai di rumah itu sibuk dengan semuapekerjaannya.
Hingga aku dewasa, pria ini masih kuanggap orang asing meski sesekali iamengajariku berbagai hal dan memberi nasihat. Sampai akhirnya, kutemukanpria ini lagi sehari, dua hari, seminggu, sebulan dan bahkan seterusnyaberada di rumahku. Rambutnya sudah memutih, berdirinya tak lagi tegak, iatak segagah dulu saat aku pertama mengenalnya, langkahnya pun mulai goyahdan lambat.
Kerut-kerut diwajahnya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup yang telahdilaluinya. Bahkan suaranya pun terdengar parau menyelingi sakit yang seringdideritanya.Kini pikiranku jauh melayang pada sayup-sayup suara ibu, sambilmenyusuiku ia memperkenalkan pria ini setiap hari, "nak, ini ayah ?" meskiaku pun belum begitu mengerti saat itu. Bahkan menurut ibu, pria ini justruyang pertama kali menyambutku ketika pertama kalinya aku melihat dunia.Cerita ibu, karena pria ini yang mengantar, menemani ibu hingga saatpersalinan. Bahkan suaranyalah yang pertama kudengar dengan lembut meneroboskedua telingaku dengan lantunan adzan dan iqomat hingga aku tetap mengenalisuara panggilan Allah itu hingga kini.
Dari ibu juga aku mengetahui, bahwa ia rela kehilangan kesempatan untukmencurahkan kasih sayang dan cintanya kepadaku demi bekerja seharian penuhsejak dinginnya shubuh masih menusuk kesunyian hari saat aku masih tertidurhingga malam yang larut ketika akupun sudah terlelap. Ia tahu resiko yangharus diterimanya kelak, bahwa anak-anaknya tak akan mengenalnya, tak akanlebih mencintainya seperti mereka mencintai ibu mereka, tak akanmenghormatinya karena merasa asing dan tidak akan memprioritaskanperintahnya karena hampir tak pernah dekat. Tapi kini kutahu, ia lakukansemua demi aku, anaknya. Ibu juga pernah bercerita, pria ini selelah apapunia tetap tersenyum dan tak pernah menolak saat aku mengajaknya bermain danterus bermain. Ia tak pernah menghiraukan penat, peluh dan lelahnya sepulangkerja demi membuat aku tetap senang. Ia tak mengeluh harus bangunberkali-kali di malam hari bergantian dengan ibu untuk sekedar menggantikanpopok pipisku atau membuatkanku sebotol susu. Dan itu berlangsung terusselama beberapa tahun, yang untuk semua itu ia ikhlas menggadaikan rasakantuknya. Kusadari kini, semua dilakukannya untukku.
Untuk sebuah cinta yang tak pernah ia harapkan balasannya. Seperti halnyaibu, ia juga rela ketika harus terus menggunakan kemeja usangnya untukbekerja, atau celananya yang beberapa kali ditambal. Kata ayah sepertidiceritakan ibu, uangnya lebih baik untuk membelikan aku pakaian, susu danmakanan terbaik agar aku tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.
Terima kasih Ayah, kutahu engkau juga tak kalah cintanya kepadaku dengankecupan hangatmu saat hendak berangkat kerja dan juga sepulangnya ketika akuterlelap. Meski tak banyak waktu yang kau berikan untuk kita bersama, namunsedetik keberadaanmu telah mengajarkan aku bagaimana menjadi anak yangtegar, tidak cengeng dan mandiri. Kerut diwajahmu, memberi aku contohbagaimana menghadapi kenyataan hidup yang penuh tantangan.
Maafkan aku Ayah, aku tak pernah membayangkan sedemikian besar cinta danpengorbananmu kepadaku. Ayah tak pernah mengeluh meski cinta dan pengorbananitu sering terbalaskan dengan bantahan dan sikap kurang hormatku. Meskikasih sayang yang kau berikan hanya berbuah penilaian salahku tentangmu.
Jangan menangis Ayah, meski kini kau nampak tua dan lelah, bahu danpunggungmu yang tak sekekar dulu lagi, bahkan nafasmu yang mulai tersengal. Ingin aku bisikkan kepadamu, "Aku mencintaimu"

(Author Unknown)

BONUS :Kelimpahan hidup tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup,tetapi sejauh mana kita menjalani kehidupan yang berkualitas.( Barbara Brown Taylor )

Minggu, Maret 20, 2005

Hidup tuh bergerak…!!!

The moving finger writes; and having writ,
Moves on: nor all piety no wit
Shall lure it back to cancel half time a line
Nor all thy tears wash out a world of it
(omar kahyyam) 1048-122.. Indra gunawan “menulusuri buku kehidupan”-p. 8

diartikan; tangan kehidupan itu senantiasa bergerak,
membuat goresan segala yang pernah diperbuatnya.
Ia mengukir dan memahat semua yang sudah dilakukan
Semua kebajikan, kesalehan ,ataupun sesal air mata
tak akan membatalkan jejak yang pernah di torehnya.


Sebenarnya tulisan ini hendak dijadikan sebagai kado di hari valentine, hari kasih sayang, saya coba memberi kado bagi diri sendiri,namun kesibukanku baru sebulan saya kahirnya menyelesaikan tulisan ini.

Tak terasa telah 26 tahun saya hidup dimuka bumi ini, yang dibulan april tanggal 28 akan berubah menjadi 27 tahun. Entah berapa tahun lagi kedepan, (tentu ini rahasia MU Tuhan). Bersyukur! karena saat ini saya berada di jogja, bagaimana seandainya saya berada di Aceh, mungkin nasib ku akan berkata lain, dengan adanya peristiwa gelombang Tsunami tanggal 26 desember 2004 lalu disana.

Sepenggal kalimat sebagai pembuka tulisan ini sangat berarti bagiku. Hidup kita terus bergerak, tidaklah mungkin mohon ijin pada Tuhan, hidup kita di “pause” dulu. Tidak bisa tuk me-rewind (mengulang) atau meng-previous (mempercepat). Semua telah berjalan dengan track nya tanpa ada zat yang bisa mengutak-ngatik.

Saya coba ingat dan merenung apa saja yang sudah terjalani dalam kehidupan ku sepanjang ini. Sejak SMP (Islam Athirah dari tahun 1990-1993) dan SMA (1993-1996) saya ternyata selalu aktif dalam kegiatan organisasi di sekolah. Iya, sejak di SD pun saya pernah mengikuti cerdas-cermat P4 mewakili sekolah. Kemudian saya ingat kegiatan pramuka dan mewakili SD (SD Kristen) untuk upacara bendera. Mmm,..sejak kecil saya sangat suka kegiatan yang berhubugan dengan banyak orang ya rupanya.

Ikut olah raga beladiri, Karate sejak kelas dua dan tidak aktif sewaktu masuk SMP, sabuk adalah terakhir coklat. Saya ingat sekali, Ayahanda menyuruhku tuk beladiri, karena menurutnya, siapa tau saya kelak merantau ke daerah orang saya pun punya bekal pembelaan diri. (ayahanda tahu kali kalau anaknya ini kelak kan merantau ke Jogja). Saya pun sedikit berbangga, karena dengan ikut beladiri itu teman-teman SD pun “segan” karena saya anak Lemkari.

Kembali di SMP, saya begitu aktif di OSIS, dengan jabatan wakil ketua. Kemudian di SMA Negeri 1 Makassar diangkat menjadi wakil sekertaris. Dunia organisasi merupakan dunia ku sejak kecil. Sewaktu SMP pun saya pernah mengikuti lomba minat baca tingkat provinsi SULSEL. Mungkin momen ini yang mengubah kebiasan hidupku, sehingga detik ini saya gemar membaca.

Dari lomba kecil itu, (atas prakarsa dan dorongan seorang guru SMP, pak Rahman untuk ikut lomba itu) saya belajar bahwa usaha dan kerja keras pasti akan membuahkan hasil. Masih dapat saya bayangkan lelahnya saya dua minggu untuk belajar mengerjakan resensi sebuah buku. Judulnya Virus komputer, apa dan bagaimana, terbit tahun 1992. Bayangkan waktu itu komputer masih langkah dan saya belum banyak tahu tentang komputer, saya disuruh baca buku teknik-populer seperti itu. Tapi anehnya saya toh dapat membuat resensi sebanyak 250 kata atau dua halaman kertas kuarto dengan spasi satu sentengah. Saya tidak ingat persis bagaimana cara saya buat resensi itu, yang jelas saya baca, terus mencatat hal-hal penting dan jadilah sebuah resensi sambil membaca buku bagaimana membuat sebuah resensi.

Sesuatu hal yang kita kerjakan dengan sebaik mungkin, penuh harapan dan doa tentu akan memberi suatu kesuksesan (prestasi). Ternyata, saya mendapat juara harapan satu (plus uang 20 ribu rupiah yang saya tabung di bank BII). Erwin teman SMP ku juga dapat juara tiga. Mulanya saya jadi kecewa, saya merasa dia tidak lebih baik dari saya. Belajar menerima sesuatu “ketidak adilan”, Saya menghargai usaha ku, apalagi semenjak setelah saya tahu kalau dia membuat resensi itu dengan bantuan kakaknya. Akhirnya saya berbangga hati, resensi itu saya buat, saya baca dan tulis, kemudian saya ketik sendiri dengan mesin ketik tanpa bantuan siapa. (waktu itu komputer belum diperbolehkan karena masih langkah dan mewah bagi peserta hanya boleh pakai mesin tik, walau saya sudah bisa meng-operasikan komputer sebatas game dig-dug dan packman punya paman ku sejak tahun 1988 sedikit-sedikit wordstar 3.1).

Kemudian masa SMA ku, tidak jauh dari organisasi lagi, selain OSIS, saya pun aktif di Palang Merah Remaja (PMR) dan Kegiatan Ilmiah Remaja (KIR) dan terakhir menjadi pengurus Mushallah IRMUDAM. Dipikir-pikir gila juga, saya mau sekolah atau berorganisasi. Tidak tanggung-tanggung diorganisasi itu semua saya menjabat pula sebagai pengurus. Akhirnya kadang dapat sindiran dari teman kalau saya itu anak organisasi-organisasi, dari pagi sampai malam aktifitasnya di sekolah. Itupun kadang pake acara menginap di mushallah kalau ada acara OSIS bersama teman-teman, seperti Niko, Ical naim, Irwan suaib, Budi WS, Adi setan gunung, Amran “tembok”, Hasbi “humairah”, dan teman lainnya.

Konsekuensi dari aktifitas saya di organisasi, nilai sekolah (akademik) tidak begitu bagus. Di kelas dua, peringkat saya 29 dari 35 siswa dalam satu kelas. Anjlokkk!! Padahal sewaktu kelas satu, sempat diperingkat tujuh. Mungkin waktu itu belum terlalu aktif di lingkungan organisasi, paling ikut menjadi simpatisan diacara keagaman di mushallah. Dan saya sadar teman bergaul (lingkungan) itu mempengaruhi setiap motivasi tindakan dan rencana kita. Di Bukunya David J.Schawartz, the magic of thinking big, ada kutipan “Anda adalah produk lingkungan Anda”. Awal sekolah saya memiliki lingkungan (baca teman-teman) yang berorientasi pada studi. Tirta Bastoni, termasuk anak yang juara kelas, memberi motivasi saya untuk belajar. Kemudian ada Happy, Indrawaty, Defri Sanusi dan Alexander R.Caumen, yang selalu menjadi “saingan” dalam prestasi ulangan dikelas memotivasi untuk sukses dalam kelas.

Hidup adalah sebuah dari konsekuensi atas pilihan kita. Disaat itu saya menghadapi dilema, antara kegiatan sekolah dan prestasi belajar. Tentu sangat sulit untuk beriringan. Saya sadar waktu adalah anugerah dari Ilahi yang sama bagi semua makhluknya. Kita hanya punya 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu dan seterusnya. Kita memilih mau digunakan untuk apa? Ternyata ditahun kedua sekolah di bawakaraeng 53 itu, saya memilih untuk aktif diorganisasi, tidak punya cewek (walau bukan berarti tidak pernah suka ma someone), tidak melewatkan waktu untuk berkumpul tanpa tujuan bersama teman-teman sekolah yang lain, misalnya nongkrong di diskotik, atau sekedar ngumpul cerita kosong.

Dengan memilih orientasi keorganisasian dan kepemimpinan itu, saya belajar mengadakan suatu kegiatan, membuat rencana, mengelola sumber daya waktu, manusia dan sumber-sumber lainnya. Lebih sering berinterkasi dengan banyak orang-orang. Akhirnya saya belajar yang namanya konflik, pertengkaran antara rekan organisasi. Dari situ juga saya belajar suatu keahlian sosial dan interpersonal seperti saling berempati, saling membantu, saling menghormati. Saya begitu menikmati dan mensyukuri bergaul dan berinteraksi dengan teman-teman sekolah yang berbeda latar belakang budaya, ekonomi, pola pikir serta bakat minat. Saya menyadari bahwa Tuhan menciptakan setiap manusia itu dengan keunikan masing-masing.

Hasil dari semua itu membawa pemahaman bahwa setiap manusia memilik perbedaan dan nilai-nilai (value) masing-masing yang mereka peroleh sejak kecil, baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, Agama serta pengetahuan masing-masing. Setiap orang memilki persepsi masing-masing terhadap suatu masalah, tentu akan terjadi beda pendapat dan konflik. Agar kita berdamai dengan perbedaan keadaan itu, dengarkan lah Stephen Covey, tulisnya Apabila saya ingin mengubah keadaan saya harus mengubah diri saya lebih dahulu dan mengubah diri saya secara efektif saya harus lebih dahulu mengubah persepsi saya. (Hernowo, Mengikat Makna, kaifa, 2001)

Kemudian saya merantau di Jogja ditahun 1996,dua kali tidak diterima UMPTN tahun 1997 saya akhirnya memutuskan kuliah di STIE YKPN. Awal tahun kuliah saya menceburkan diri di aktivitas pergerakan mahasiswa. Mas Andree Komunis (sapaannya), memperkenalkan pemikiran-pemikiran kiri, seperti Karl Marx itu. Pengalaman yang cukup berkesan adalah ikut mengorganisir demostrasi ditingkatan kampus. Memobilisasi massa, sehingga mahasiswa kampus ku “mau” diajak turun kejalan bersatu padu dengan seluruh masyarakat jogja untuk berikrar reformasi di alun-alun utara bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X, yang ujung-ujungnya melengserkan Soeharto itu.

Tapi satu tahun sebelum masuk kuliah, saya sempat menganggur (ikut bimbel dan kursus sana-sini). Masa itu cukup memberi makna dan tidak enak namanya nganggur. Masa saya banyak membaca, di masa itu pun saya berkenalan dengan “guru-guru” informal yang menularkan semangat spiritual dan intelektual. Ka Syafwan lewat yayasan rausyan Fikr. Pendekatan keagamaan lewat ideologi Syi’ah, saya diajak mengembara untuk menemukan Tuhan lewat pendekatan CINTA. Keberagaman bukan dimaknai sebagai suatu dua sisi halal dan haram saja. Bukan suatu dogma yang harus dipaksakan, tetapi suatu perjalan mencari Tuhan dengan nilai-nilai yang lebih universal dan rasional menurutku. Dari situ saya berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Ali bin Abi Thalib RA, Murthaddha Muttahari, Alisyariati. Kang Jalal, Nurcholis Madjid. Walaupun saya akui tidak sampai intensif, tapi mempengaruhi pola pikir ku yang dulu hanya mengganggap bahwa ujung dari hidup ini adalah syurga dan neraka atau halal dan haram.

Sewaktu SMA sebenarnya saya sudah dikenalkan dengan kegiatan dikusi dan menulis oleh senior alumni smansa di kegiatan IRMUDAM, seperti kak Alfian, dengan pendekatan bahan bacaan seperti Emha Ainun Najib, Toto Tasmara, dan beberapa buku-buku pencerahan yang terbitan MIZAN, saya diajak untuk berpikir kritis dan memulai suatu pencarian kebenaran. Saya ingat ditahun awal 90-an buku MIZAN sempat diharamkan. Karena kontroversial, MIZAN dianggap penerbit yang keluar dari pakem keagamaan yang masih didominasi “ekslusifitas” kaum tertentu. Karena kontroversi, mendorong saya tertarik mendalami buku-buku “pencerahan tersebut”.

Kembali lagi masa mahasiswa, Jogjakarta nampaknya memang sebuah kota pertemuan dalam hidup ku (baca jodoh). Mungkin apabila waktu itu saya memutuskan balik ke kampung halaman, (karena tak satu pun PTS dan PTN yang menerima saya sebagai mahasiswanya ditahun 1996), jalan hidupku takkan begini. Saya tetap bertahan, dan yakin bahwa dengan “hijrah” (berpindah dari kota kelahiranku) akan memberi suatu pengalaman baru dan “cerita” baru dalam hidup.

Begitulah sampai saya pun terlibat dalam dunia jurnalistik. Dunia pers (mahasiswa) yang memberiku kesempatan untuk lebih dekat dengan dunia baca dan tulis. Dari kegiatan baca dan tulis itu terkadang banyak mengubah perspektif ku dan pandangan ku terhadap hal-hal yang ada didunia ini. Tidak sebatas hitam dan putih lagi. Saya teringat kata
Francis Bacon "Membaca membuat seseorang manusia menjadi berisi, diskusi membuatnya menjadi siap dan menulis menjadi jelas dan pasti".

Di dunia pers kampus, saya belajar kembali menangani organisasi dan bersinggungan dengan idealisme-idealisme perlawanan terhadap suatu kemapanan. Saya lebih tertarik kali ini menuliskan pembelajaran dari dunia juralistik yang menurut ku suatu hal yang baru. Dimana saya belajar menilai antara suatu fakta dan opini. Saya sadar terkadang kita membaca berita, kita lebih sering mempercayai suatu opini pendapat para ahli, tanpa mempercayai fakta yang terjadi sebenarnya. Fakta adalah kondisi riil yang terjadi disuatu masyarakat, sedangkan opini sebatas pendapat dari seseorang yang mungkin benar dan salah menilai suatu keadaan. Dunia tulis menulis membawaku kedalam dialog batin terus menerus, sehingga melatih ku untuk tidak lekas meng-amini atau mengambil kesimpulan sempit terhadap segala sesuatu yang terjadi.

Sikap kritis ku mulai terbangun, berani mempunyai pendapat sendiri dan kerangka berpikir sendiri. Dengan banyak membaca, berdiskusi, dan mendengarkan pendapat orang lain, memberiku banyak pemahaman-pemahaman baru, walau saya sadar itu kadnag membuat ku pusing dan bigung.

Akhir tulisan ini sebenarnya adalah sebuah refleksi, permenungan yang panjang. Permenungan dan pergulatan yang hidup dijiwa dan pikiran ku, yang akan berhenti takala ruh tidak bersama tubuh ku lagi. Hidup adalah sebuah perjalanan. Saya yakin bahwa kitalah yang menentukan baik dan buruknya perjalan itu, setengahnya ada campur tangan Ilahi. Hidup kita pasti akan bergerak, Hidup memang harus dijalani, tidak untuk menunggu keajaiban dan keberuntungan. Hidup bagi ku adalah sebuah perjalan panjang menuju satu yakni menuju ke TUHANdengan jalan kita masing-masing. Selamat menempuh sisa hidup kita.!


Andi Nur BM
Maret 05. Jogja

Selasa, Maret 15, 2005

womans dont cry

If a gal cries in front of u,
(Jika seorang wanita menangis dihadapanmu)
it means dat she couldnt take it anymore.
(Itu berarti dia tak dapat menahannya lagi)

If u take her hand,
(Jika kamu memegang tangannya saat dia menangis)
she would stay with u 4 de rest of ur life;
(Dia akan tinggal bersamamu sepanjang hidupmu)

If u let her go,
(Jika kamu membiarkannya pergi)
she couldnt go back 2 being herself
(Dia tidak akan pernah kembali lagi menjadi dirinya yang dulu)
anymore.

sumebr: unknown (internet)
(Selamanya)

A gal wont cry easily,
(Seorang wanita tidak akan menangis dengan mudah)
xcept in front of de person who she love de most
(Kecuali didepan orang yang amat dia sayangi)
she becomes weak.
(Dia menjadi lemah)

A gal wont cry easily,
(Seorang wanita tidak akan menangis dengan mudah)
only wen she love u de most,
(Hanya jika dia sangat menyayangimu)
she put down her ego.
(Dia akan menurunkan rasa egoisnya)

Guys, if a gal cries bcoz of u,
(Lelaki, jika seorang wanita pernah menangis karena mu)
please hold her hands firmly,
(Tolong pegang tangannya dengan pengertian)
she's the one who would stay with u 4 de rest of ur life
(Dia adalah orang yang akan tetap bersamamu sepanjang hidupmu)

Guys, if a gal cries bcoz of u,
(Lelaki, jika seorang wanita menangis karena mu)
please dont give her up,
(Tolong jangan menyia-nyiakannya)
maybe bcoz of ur decision, u ruin her life.
(Mungkin karena keputusanmu, kau merusak kehidupannya)

When she cry rite infrnt of u,
(Saat dia menangis didepanmu)
When she cry bcoz of u,
(Saat dia menangis karnamu)
Look into her eyes,
(Lihatlah matanya)
Can u see n feel de pain n hurt she's feelin's?
(Dapatkah kau lihat dan rasakan sakit yang dirasakannya?)

Think.
(Pikirkan)
Which other girl have cried wif pure,sincerity,
(Wanita mana lagikah yang akan menangis dengan murni, penuh rasa sayang)
Infront of u,
(Didepanmu)
And bcoz of u?
(Dan karenamu)

She cry not because she is weak,
(Dia menangis bukan karena dia lemah)
She cry not bcoz she wan sympathy or pity
(Dia menangis bukan karena dia menginginkan simpati atau rasa kasihan )
She cry,
(Dia menangis,)
Because cryin silently is no longer possible,
(Karena menangis dengan diam-diam tidaklah memungkinkan lagi)

Guys,
(Lelaki)
Think about it,
(Pikirkanlah tentang hal itu)
If a gal cry her heart out 2 u,
(Jika seorang wanita menangisi hatinya untuk mu)
And all because of u,
(Dan semuanya karena dirimu)
Its time 2 look back on wat u hav done,
(Inilah waktunya untuk melihat apa yang telah kau lakukan untuknya)
Only u will know de answer 2 it.
(Hanya kau yang tahu jawabannya)

Do consider it,
(Pertimbangkanlah)
Coz one day,
(Karena suatu hari nanti)
It may b 2 late 4 regrets,
(Mungkin akan terlambat untuk menyesal)
It may b 2 late 2 say "im sorry".
(Mungkin akan terlambat untuk bilang 'SORRY")

Kamis, Februari 17, 2005

Memoar Organisasi UKMJ di STIE YKPN

Tulisan kali ini sifatnya romatisme belaka, sekedar ingin refleksi (baca: merenung dan mengambil hikmah) sambil ditemani dengan lagu-lagu dari Audy. Kenapa Audy, karena musiknya nge-rock, lembut, dan agak sok-melankoli gitu, ah gue banget…!!

Bagi teman-teman jujur saja, apakah berorganisasi itu nyaman dan mengasyikkan? Saya ingin jawaban yang jujur! Saya yakin sebagian dari kita bahwa organisasi itu awalnya saja yang enak setelah jadi pengurus dan memikul tanggung jawab pasti terbersik perasaan bahwa untuk apa sih ngurus organisasi ini, mana pengurus dan anggotanya pada seolah-olah “tidak peduli”. Tanggung jawab? Mang aku harus bertanggung jawab sama siapa? Sama pihak kampus, Pak Djoko mana dia jarang di kampus, Pak Wing? Wah makluk ini apa lagi, yang di otaknya cuman teknologi informasi melulu. Pak efer? Sapa sich lo..?

Sama alumni? Alumni pada kemana? Sibuk dengan kerjaannya dan keluarganya. Di AD/ART kan alumi bukan pengurus. Dan gak jelas wewenang dan perannya bagi organisasi. Jadi apa dong.

Saya coba bernostalgia takala mengambil “keputusan” berkecimpung dengan serius di gmh104. Motivasi awal yang paling membekas bagi ku adalah takala di calonkan oleh teman-teman anggota, yang waktu itu angkatan ke-4, ya si faisal (penghormatan buat dia namanya aku tulis paling depan, soalnya kita sadar banyak dosa-dosa kita karena seringnya “menindas” mu bro), si Muliadi Palesangi, Gaib, Eko, Ickhsan, Nita, Nurul, Hari, Ronny..... Dan “sial” nya takala ternyata aku yang terpilih menjadi Ketua Umum periode 1999/2000. Mau menolak, takut membuat kecewa. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”.

Dari alumni, mas Riko juga beri argumen, kalau kita biarkan mereka yang mengorganisir UKMJ di masa depan, angkatan ke-4 itu ibarat buah yang masih belum siap dipanen, dikarbit jadi hasilnya pasti asal-asalan. Sehingga butuh sosok yang lebih dewasa, lebih punya pengalaman, dan menegerti running organisasi. Lagian,..tambah mas Riko, organisasi ini sudah susah-susah kita bangkitkan kembali setelah “mati suri’ di tahun 1998, masa kita ingin melihatnya redup kembali (kurang lebih seperti itu kalimatnya cuman saya modifikasi dikitJ ).

Ok, saya pun terima “tantangan” ini, walau dalam hati sudah ingin gak terlibat lagi di kepengurusan, maklum saja saya aktif tahun 1997, begitu awal masuk STIEYKPN, dan trus vacuum, nah pas pertengahan tahun 1998 mulai bangkit lagi setelah ORBA dan Soehartonya turun, barulah UKMJ kembali ke “Khittah”-nya menjadi organisasi murni kemahasiswaan bukan sebuah organisasi pergerakan politik.




Dalam pergulatan diri selama menjadi pengurus, saya sadari sebenar masalah-masalah yang dihadapi dalam organisasi sebenarnya sebuah latihan bagiku dalam bagaimana memanajemin dan menjadi leader di suatu organisasi. Mungkin kalimat yang paling cocok adalah di UKMJ saya pintu gerbang mulai belajar menemukan kesejatian diri, dimana kesejatian diri itu meliputi pembelajaran saya sebagai manusia baik sisi individu, dan sosial, intelektual, emosional dan spritual. Sisi individu berarti saya berlahan-lahan mulai mengenal diri saya sendiri. Kata filosuf untuk mengenal Tuhan kita harus mengenal diri kita lebih dulu. Sisi sosial, saya punya banyak kawan, sahabat, guru-guru informal, dan musuh. Dari mereka lah saya membangun jaringan (networking) dan silaturahmi yang kelak dimasa depan saya yakin akan bermanfaat dalam menunjang karir dan sukses saya. Aspek emosional, saya belajar untuk lebih peka dan berempati kepada orang-orang lain. Dan sisi spritual, saya belajar, bahwa Tuhan akan selalu bersama kita disaat-saat apapun apalagi takala lagi susah.

Life is Journey. Kehidupan adalah sebuah perjalanan, sebagaimana juga kalimat yang sering kita baca bahwa Succes is Journey. Dari permenungan saya (refleksi) setidaknya ada 4 hal yang menjadi nilai pembelajaran (the four learning value) yang akan saya uraikan dibawah ini.

1. Untuk Mewujudkan cita-cita kita harus berani menukarkan dengan pengorbanan. Saya belajar cita-cita beda dengan impian belaka. Omong kosong belaka kalau kita mengharapkan perubahaan tapi kita hanya berleha-leha di kasur sambil tidur-tiduran. Di UKMJ, semuanya menginginkan perubahaan, berkoar-koar dengan kata-kata mutiara yang baik, tapi tak ada pun suatu aksi untuk mewujudkannya. Dari situ saya mulai belajar, bahwa manusia yang sukses harus berani mengambil resiko untuk keluar dari zona kenyamanan untuk mewujudkan cita-citanya itu. Kenapa saya katakan resiko karena resiko merupakan sesuatu yang berarti ada sebuah konsekuensi dari upaya kita, bisa berbentuk pengorbanan waktu, materi, fisik, dan mental. Semuanya tentu sudah dirasakan oleh kawan-kawan pengurus yang berkomitmen tinggi. Ungkapan dari Frank Harvey, begitu mendalam, yaiut; “kadang untuk membuat impian menjadi kenaytaan, kita harus mau menukarkannya dengan sebagian dari kehidupan kita”.
2. Tidak membenci masalah. Kini, saya belajar bahwa masalah itu adalah karunia. Saya yakin Tuhan tidak akan memberi suatu masalah (cobaan) diluar kesanggupan umat-Nya. Masalah membuat kita naik kelas, meminjam kata-kata dari Gede prama. Masalah-masalah menjadikan kita lebih tahan banting, dan terampil bila menghadapi persoalan-persoalan berikutnya. Mungkin bagi sebagian besar anak-anak STIE YKPN, terlahir dan tumbuh dalam keluarga yang mampu dan berada. Resistensi (daya tahan) terhadap problem-problem hidup, akan berpengaruh terhadap budaya organisasi. Tidak semua anggota bisa memaknai persoalan-persoalan hidup yang mereka hadapi. Dari sini saya belajar untuk memisahkan mana masalah organisasi dan mana masalah individu. Mana masalah yang sebenarnya tidak harus dipikirkan terlalu berat dan dimasalah-masalahkan. Intinya management problem, ya... saya bahagia karena dari pengalaman organisasi kini saya berubah perspektif terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Dulu saya menganggap masalah yang terjadi adalah sebuah kutukan atau sanksi dari Tuhan (yang kadang saya geli juga dengan pikiran ku seperti itu), tapi kini saya berpikir masalah (problem) adalah masalah, suatu kata benda, yang intinya kita harus HADAPI dan mencari SOLUSI, bukan menjadi beban dalam pikiran. Betapa berat hidup kalau setiap masalah kita simpan dalam pikiran dan kita hanya bisa mengutuk tanpa bisa mencari pelajaran dan solusi dari semua itu.
3. Hal ini yang merupakan pelajaran tersulit, Berlatih dalam mengambil pilihan (choice) dan keputusan (decision). Sampai saat ini pun saya masih belajar dalam mengambil keputusan. (decision making). Sulit kah? Ya, sulit bagi yang belum biasa dan tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Hidup ini selalu dihadapkan dua hal yakni pilihan dan keputusan. Kita harus memilih yang mana, kanan atau kiri, putih, hitam atau abu-abu. Setelah kita memilih keputusan pun harus kita buat dan laksanakan. Awalnya saya begitu sulit, membuat keputusan-keputusan organisasi, mempertimbangkan rasa tidak enak dengan kawan-kawan, rasa bersalah, dan berbagai macam nilai-nilai lainnya. Takala, membuat keputusan untuk bekerja sama dengan detik.com dan AJI untuk penandatangan MoU (memorandum of understanding) dalam menggarap program kanal kampus online. Beberapa rekan sempat mempertentangkan, Apakah UKMJ siap kerja sama, melihat system kerja organisasi masih amburadul, bagaimana mungkin, mereka adalah lembaga yang professional. Persma kita masih jauh ketinggalan dari Balairung, Ekspresi, Bulaksumur Pos, Edents, Suara USU dan lainnya. Mereka (persma lain) sudah lebih pengalaman dan lama kita baru 3 tahun. Saya memahami kondisi teman-teman UKMJ saat ini lagi tidak percaya diri. Tapi sebagai penangung jawab organisasi harus membuat pilihan dan keputusan, intusi saya pun mengatakan UKMJ harus mengambil bagian dari proyek ini. Kita tidak boleh ketinggalan, belum tentu mereka lebih bagus dari kita. Justru saya berpikir dengan kerja sama dengan pihak luar, akan menjadi cambuk bagi pengurus untuk mengubah diri lebih baik dan saya sendiri khususnya. Tentu kita malu, sudah berani kerjasama tetapi kerja kita tidak bagus. Saya pun yakin, untuk menjadi lebih baik, kita harus keluar, out of our box, keluar dari tempurung kita. Soalnya saat itu kita sudah merasa “bangga” dengan posisi sebagai organisasi yang “terhebat” di kampus adalah hal yang hebat kalau kita bisa bekerjasama dengan pihak yang lebih hebat dari kita. Dan, akhirnya saya puas dan senang denga pilihan tersebut. UKMJ pun menuai beberapa kebanggan dan prestasi walaupun itu masih ecek-ecek.
4. Kita masing-masing lahir didunia ini dengan ciri-ciri bawaan kita sendiri. Setiap manusia itu unik. Pengalaman selama memimpin organisasi, mengajarkan buat diriku bahwa setiap manusia itu unik, sehingga pendekatan pun berbeda-beda tidak sam dengan yang lain. Untungnya- aku sudah pernah membaca buku Personality Plus-nya Florence Littaeur. (sebaiknya cah UKMJ membaca buku tersebut dan mengamalkannya). Dari situ saya melakukan pembenaran terhadap tipe-tipe karakter manusia dari ajaran buku itu. Sehingga saya pun tidak heran mengapa anggota ada yang tiba-tiba motivasinya menurun drastis padahal baru bebrapa waktu sebelumnya dia sangat antusias. Tidak heran dengan sikap anggota yang begitu dominant, sangat ingin menguasai, dan ide-nya lah yang paling benar, disamping itu juga saya menyaksikan watak anggota yang hanya sebagai follower (pengikut) yang setia dan patuh. Tidak heran bila dalam rapat, ada yang sangat tidak beta untuk duduk berjam-jam sementara ada yang sanagt serius dan detal dengan setiap topic yang dibahas. Lainnya cuman setuju dan setuju. Saya ingat dibuku Dale Carnegie, judulnya Bagaimana mendari kawan dan mempengaruhi orang lain. Bahwa salah satu kesuksesan para pemimpin, apakah itu pebisnis, partai politik, dan pemimpin lainnya adalah kepiawaian mereka dalam menangani manusia-manusia. Mmm..sungguh pengalaman yang sangat mengesankan dalam proses pembelajaran ku lebih lanjut.

Demikian sedikit berbagi pedapat. Mungkin tidak semua disetujui oleh teman-teman. Tapi itulah pendapat. Sangat menyenangkan bisamenuangkan dalam sebuah tulisan.

fabruary 2005

Senin, Januari 17, 2005

Mbah Sarwi

Mbah Sarwi

Kukenal Mbah Sarwi sebagai pedagang sayur di Pasar Minggu.Aku memang
sering berbelanja sayur ke sana, sembari perjalanan pulang dari Jakarta
ke Depok. Usianya mungkin sekitar 65 tahun. Tubuhnya ringkih dibalut
kain kebaya. Memang tampak sederhana karena Mbah Sarwi tidak memiliki
perhiasan yang layak untuk dipamerkan. Kalaupun ada yang berharga, hanyalah
sepasang anting emas di telinganya. Sementara ditangan kirinya
terjuntai dua buah gelang karet berwarna kuning.
Tapi aku sangat menghormatinya karena Mbah Sarwi adalah guruku: Guru
yang membukakan mataku tentang sisi lain kehidupan, mengajariku tentang
arti kepasrahaan kepada Tuhan juga semangat pantang menyerah. Biasanya
aku hanya memberikan uang kepada Mbah Sarwi, sembari mengatakan rencana
sayur yang akan kubuat. Dengan cekatan beliau memilihkan sayur
kepadaku.
Pernah aku bertanya, apakah Mbah Sarwi tidak merasa takut bersaing
dengan supermarket, hypermarket bahkan pedagang lain yang menjadi
saingannya? Beliau hanya menjawab bahwa rizki kuwi wis ono sing ngatur, ono dino
yo ono upo. Pernah sesekali aku berpandangan negative bahwa mungkin
sikap beliau adalah cermin sebuah keterbelakangan, moral peasant. Menurut
Samuel W. Popkin (?), seorang petani lebih bodoh dari buruh, sehingga
dianalogikan bahwa petani akan berteriak adanya banjir apabila air telah
mencapai leher. Dan Mbah sarwipun mungkin baru akan menyadari
kekeliruannya setelah modalnya habis dan bangkrut.
Akan tetapi sekitar dua tahun aku berlangganan, tidak kutemukan sebuah
kemunduran. Bahkan kini Mbah Sarwi bisa membeli sebuah timbangan.
Biasanya beliau meminjam timbangan dari pedagang sayur disampingnya. Beliau
juga berceritera bahwa beliau habis menjenguk keluarganya di Madiun,
karena cucunya dikhitan. Dan beliau merasa bersyukur karena Tuhan terus
memberikan berbagai kebahagiaan di penghujung usianya.
Jawaban-jawaban Mbah Sarwi memang membuatku mati langkah. Kepasrahannya
kepada Tuhan, mengalahkan ceramah para agamawan yang kadang harus
menetapkan tariff bagi mereka mengundangnya. Kegigihannya dalam berusaha,
mengalahkan kaum pengusaha yang terbukti hanya bisa menjual lisensi dan
praktek monopoli.
Hukum Tuhan memanglah misteri. Orang yang kita pandang lemah, justru
sebenarnya adalah orang yang kuat. Banyak orang kaya yang justru merasa
khawatir tentang hartanya serta banyak orang berilmu merasa khawatir
akan wibawanya.
Lutfi -milis resonansi

Senin, Januari 10, 2005

purwokerto

lag dipurwokerto,..
keliling kota nyari ruko,,..tuk klien
lumayan capek juga,..
nyari ruko sewa or jual seharga 500-700 juta,..
ya lumanyan lah hari ini,..tes mental dan pengalaman.

namanya kerja memang tdk enak kali ya,..