Senin, Desember 26, 2016

E-commerce potensi ekonomi dimasa depan

Memasuki pergantian tahun 2017 dalam ulasan para ekonom dan diskusi ekonomi outlook yang digelar beberapa menyimpulkan bahwa perekonomian kita berpotensi tidak sebaik tahun lalu, namun masih ada harapan untuk bertumbuh sedikit. Ini bukanlah suatu ancaman bagi pelaku bisnis bila mampu berinovasi dengan mengubah masa perlambatan ekonomi ini untuk menangkap peluang-peluang baru, khususnya dengan berkembangnya e-commerce.


Dalam diskusi ekonomi outlook 2017 yang diselenggarakan Harian Fajar bekerja sama dengan IMA (Indonesia Marketing Association) di kampus Universitas Muslim Indonesia pada tanggal 21 Desember 2016 lalu menarik disimak. Para pembicara umumnya mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia belum tentu akan lebih baik dibanding tahun lalu, namun haruslah selalu disikapi dengan optimisme. Trend perlambatan masih akan berlangsung dengan asumsi masih terjadinya pelemahan ekonomi global yang berdampak terhadap tertekannya perekonomian negara kita.

Hal menarik dalam diskusi tersebut yakni kehadiran internet dan kemajuan ICT (Internet & Communication and Technology) yang terkadang men-disruptive pasar konvesional, menjadi perhatian tersendiri bagi industry-industri yang sudah mapan. Kesimpulannya kehadiran ekonomi digital tidak bisa dielakkan lagi, perkembangan bisnis e-commerce pun harus menjadi perhatian.

E-commerce sendiri ecara sederhana kita pahami sebagai perdagangan online. Kegiatan e-commerce sendiri meliputi penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www (world wide web), atau jaringan komputer lainnya. E-commerce saat ini juga melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis sendiri.

E-commerce masa dulu
Awal mulanya e-commerce dikenal sekitar awal 1990-am di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Kehadiran e-commerce di Indonesia mulai tumbuh diakhir tahun 1990- hingga awal tahun 2000. Namun pada masa itu e-commerce di tanah air masih meraba-raba bentuk, pasar pun masih kecil, belum ada regulasi, logistik masih tingi, dan cenderung adopsi saja dari negara maju tanpa memperhatikan konten lokal dan perilaku konsumen kita. Hal ini jadinya seperti sebuah sajian menu makanan tanpa dilirik oleh konsumen Indonesia,  rasa skeptis dan dinilai tidak lazim dengan nilai-nilai pada masa itu.

Sekilas feedback, kita mengenal astaga.com dan lipposhop.com sebagai pioneer platform e-commerce ditahun 2000, namun pemain e-commerce itu hanya mampu bertahan 3-4 tahun dan memutuskan keluar dari bisnis ini plus kerugian investasi hingga puluhan milyar rupiah. Ini kasus perusahan besar yang “latah” terjuan bisnis e-commerce diera yang belum tepat dan juga pada masa terjadinya fenomena bubble yang menyebabkan banyaknya perusahaan dotcom jatuh. Tidak banyak investasi dibidang e-commerce yang sukses kala itu.

Sepuluh tahun kemudian barulah pasar mulai terbentuk. Hal ini disebabkan karena pemerintah juga sudah mengakomodir  dalam hal regulasi seperti adanya UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. DItambah ada sedikit aturan tentang UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdangan pada BAB VIII – Perdagangan Melalui Sistem Elektronik sedikitnya membantu memperbaiki carut marutnya regulasi tentang e-commerce. Membuat masyarakat semakin sadar dan mulai mencoba e-commerce walaupun intensitasnya masih rendah. Adanya paket kebijakan ekonomi XIV tentang e-commerce di akhir tahun 2016 oleh pemerintah memberi penegasan bagi pelaku usaha dan bisnis bahwa pemerintah sangat konsen unttuk mengawal bangkit ekonomi berbasis digital ini.

Ambisi pemerintah dengan e-commerce
Kondisi dua dekade silam sangatlah berbeda dengan sekarang kini potensinya sudah sangat terbuka lebar. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memprediksi bahwa bisnis e-commerce di tanah air akan mencapai angka US$ 4,89 miliar atau sekitar lebih dari Rp 68 triliun. Jumlah tersebut diyakini akan terus berkembang pesat hingga 2020 mendatang.

Pemerintah berambisi menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kapasitas digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Ini didasari bahwa negara kita merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia, mencapai 93,4 juta orang dan pengguna telepon pintar (smartphone) mencapai 71 juta orang. Potensi ini lah sehingga pemerintah menargetkan bisa tercipta 1.000 technopreneurs dengan valuasi bisnis sebesar USD 10 miliar dengan nilai e-commerce mencapai USD 130 miliar pada tahun 2020.

Ada delapan sektor yang dijadikan penguatan pengembangan e-commerce bagi pemerintah lewat paket kebijakan e-commcer ini. Kedelapan sektor tersebut adalah pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, logistik, infrastruktur organisasi, keamanan siber, dan pembentukan manajemen pelaksana.

Sektor logistik misalnya salah satu kendala belanja online adalah mahalnya biaya pengiriman barang apalagi antar pulau, kini melalui PT Pos Indonesia sebagai BUMN mulai berbenah dengan mengeluarkan layanan-layanan dengan biaya yang lebih murah untuk mendukung pelaku usaha e-commerce. Diharapkan kedepan Pos Indonesia menjadi tulang punggung logistic terhadap aktifitas e-commerce ini.

Peningkatan infrastruktur telah dipersiapkan oleh PT Telkom Indonesia dengan membangun tol kabel optik dari Sabang sampai Meuroke. Tujuan agar tercipta pemerataan system komunikasi di seluruh pelosok tanah air dengan kualitas yang bagus. Adanya tol kabel optik ini juga akan membantu bagi pelaku usaha berbasis digital,  jadi tidak ada lagi alasan sulitnya akses internet bagi diseluruh wilayah Indonesia.  

Bank Indonesia juga mengeluarkan peraturan mengenai penyelenggaraan transaksi pembayaran, melalui Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Peraturan tersebut merupakan salah satu bentuk komitmen Bank Indonesia dan Pemerintah untuk memperbaiki fungsi pembayaran transaksi e-commerce yang lebih aman dan efisien. Melalui ketentuan tersebut, BI mengatur, memberikan izin dan mengawasi penyelenggaraan jasa sistem pembayaran yang dilakukan oleh Prinsipal, Penerbit, Acquirer, Penyelenggara Kliring, Penyelenggara Penyelesaian Akhir, serta Penyelenggara Transfer Dana. Hal ini kita kenal dengan Bank Indonesia Fintech Office yang mana telah di launching pada bulan November lalu.

Adanya perhelatan HARBOLNAS yang ke-4 atau dikenal dengan hari belanja online nasional yang digagas setiap tahun oleh pelaku usaha e-commerce melalui Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) memperlihatkan geliat potensi bisnis e-commerce ini. Tercatat ditahun 2016 harbolnas mencatat sekitar Rp 3,3 trilyun dalam rentang waktu tiga hari perayaan, ini naik dibanding tahun lalu 2015 yang hanya Rp 2,4 trilyun. Ini dapat kita simpulkan bahwa masyarakat atau konsumen Indonesia sudah tidak tabu lagi dengan belanja online.

Pertanyaan kursial saat ini adalah seberapa siapkah para pengusaha kita merespon perubahan ini? Pelaku bisnis saat ini ditantang untuk menata ulang bisnis model mereka. Inovasi bisnis mutlak terus menerus dilakukan. Peluang pasar dari e-commerce yang akan terus bertumbuh harus dapat kita manfaatkan untuk memperbaiki kinerja bisnis yang merosot ditahun-tahun sebelumnya.




A.M.Nur Bau Massepe
Dosen Pemasaran FEB Universitas Hasanuddin


 dimuat Harian Fajar , 26 Desember 2016