oleh: A.M.Nur Bau Massepe
Memasuki hari lebaran ditahun 2015 atau memasuki
semeseter ke dua kondisi perekonomian Indonesia kembali menghadapi beberapa
tantangan. Tantangan berupa adanya perlambatan ekonomi global dengan salah satu
pemicunya terjadinya gagal bayar pemerintahan Yunani terhadap utang-utangnya
(krisis ekonomi yunani). Nilai tukar rupiah yang terus menerus melemah serta
inflasi yang semakin tinggi, IHSG Indeks Harga Saham Gabungan) yang melorot
tajam dipicu aksi jual yang agresif oleh investor asing, dan menarik dananya
dipasar modal kita. Faktor-faktor tersebut
akan memberi dampak buruk pada kondisi perekonomian kita dan tentunya akan
membuat kondisi bisnis (usaha) kita tidak akan lebih baik dibanding tahun-tahun
sebelumnya.
Ancaman ekonomi Indonesia untuk tertimpa atau
dibayang-bayangi krisis ekonomi mulai sering diperbincangkan. Para pakar dan pengamat ekonomi mulai memberi peringatan akan
kondisi yang kurang baik ini. Pelaku bisnis berhati-hati dan mewaspadai gejala
ini dengan segera mengambil langkah-langkah strategis terhadap faktor-faktor
manajemen operasional, keuangan dan pemasaran kedepan agar masa depan usaha
tetap bertahan.
Krisis
ekonomi global
Berdasarkan data badan pengelolaan utang Yunani yang
banyak dilansir media cetak tanah air menyebutkan bahwa pada Maret tahun ini saja
beban utang negara itu mencapai 312,7 miliar euro atau sekitar Rp 4.600 triliun
alias 174,7 persen di atas GDP. Walaupun Yunani adalah negara yang kecil konstribusinya
1-2% terhadap terhadap ekonomi Eropa, dan hampir sama sekali tidak ada nilai
perdagangan negara kita dengan Yunani, namun mempertimbangkan sejarah krisis tahun
2008 dampak dari krisis tersebut terhadap perekonomian bagi negara-negara Eropa
tentu akan berdampak pula pada negara kita walaupun itu tidak secara langsung
nantinya.
Perspektif ekonomi internasonal mengatakan perdagangan
antar satu negara dengan negara lain saling berkaitan, misalnya melalui aliran
barang dan jasa. Kita ketahui bahwa impor suatu negara merupakan ekspor bagi
negara lain. Ini juga dapat berarti resesi di satu negara akan menular dan
mempengaruhi secara global, begitu juga penurunan impor di satu negara
menyebabkan tertekannya ekspor di negara lain.
Saat ini hampir semua negara-negara di dunia menganut
sistem pasar bebas sehingga terkait satu sama lain. Aliran dana bebas keluar
masuk dari satu negara ke negara lain dengan regulasi moneter tiap negara yang
beragam. Akibatnya setiap negara memiliki risiko terkena dampak krisis bila di
negara asing sana atau tetangganya sedang mengalami masalah. Begitu juga bagi
Indonesia yang sangat terpengaruh dengan kondisi perekonomian global khususnya
apa yang tejadi di Eropa sana.
IHSG dan
pasar modal.
IHSG walaupun awal tahun 2015 sempat menyentuh harga
tertinggi dalam sejarahnya yakni 5500 dibulan april, namun saat ini IHSG
melorot dikisaran 4.800 ini berarti dalam tiga bulan terakhir terjadi penurunan
sekitar 12-13%. Penurunan ini di picu antara
lain kekecewaaan investor terhadap hasil kinerja laporan keuangan perusahaan-perusahaan
di Indonesia yang negatif pada kuartal 1 ditahun 2015, sehingga investor
terutama asing mulai melakukan aksi jual yang cukup besar. Sektor perbankan dan
sector komsumsi yang memberi efek negatif terbesar terhadap penurunan IHSG,
karena hampir seluruh laporan emiten pada sektor itu adalah merah alias
mengalami penurunan kinerja usaha. Kinerja pemerintahan Joko widodo dan Jusuf
Kalla yang pada awal mulanya mendapat sentiment positif, tetapi memasuki
triwulan ke dua ini mulai mendapat catatan negatif dan cenderung skeptis,
karena tidak ada teroboson yang berarti pada sector ekonomi dan usaha, malah
sebaliknya. Dari data bursa efek
Indonesia, tahun lalu sekitar Rp 48 Trilyun dana asing yang masuk di pasar modal,
namun tahun ini telah mengalami penciutan sekitar Rp 14 trilyun sepanjang tahun
ini. Penurunan modal asing ini juga disebabkan ada efek atas bankrutnya
pemerintahan Yunani dan bursa regional Asia (Tiongkok) yang cenderung melemah.
Melihat indikasi ini menjadikan pasar modal Indonesia tidak seksi lagi dimana
investor terutama asing. Kondisi ini juga bisa menahan niat investasi asing
untuk berekspansi dipasar kita.
Inflasi dan
nilai tukar rupiah
Saat ini nilai tukar rupiah terhadap US dollar telah
menembus angka Rp.13.300 per dollar. Ini berarti telah terjadi kenaikan
sekitar 15-20% bila mengacu kurs dollar terhadap rupiah pada satu tahun
kebelakang (Juni 2014). Hal ini memberi informasi bahwa satu tahun ini terjadi
kenaikan biaya operasional dan produksi perusahaan sekitar 15-20% bagi sektor-sektor
industri yang basis usahanya menggunakan komponen-komponen impor dan penggunaan
transaksi keuangan berdasarkan kurs dollar. Laba perusahaan akan tergerus
dengan kestidak stabilan nilai tukar ini.
Begitu pula inflasi secara nasional pada bulan juni tahun
ini adalah 0,66% sebagaimana dilansir oleh Bank Indonesia. Inflasi dari bulan juni 2014 sampai juni 2015
tercatat diatas 7 %, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kenaikan harga
barang rata-rata tujuh persen setahun ini. Inflasi akan melemahkan daya beli
konsumen yang berarti juga akan mengurangi penjualan usaha kita.
Faktor inflasi dan kenaikan kurs rupiah terhadap
dollar merupakan dua hal yang selalu akan mengakibatkan terciptanya kondisi
ekonomi tinggi bagi pelaku usaha. Indikatornya berupa naiknya biaya produksi
dan melemahnya daya beli konsumen/masyarakat. Biaya produksi yang semakin
tinggi dan melemahnya daya beli konsumen (masyarakat) menjadi faktor-faktor
yang harus di respon oleh pelaku usaha saat ini.
Sedia paying sebelum hujan
Sebagai pengambil kebijakan perusahaan ataukah sebagai
pemilik bisnis tentu kita tidak ingin faktor-faktor eksternal tadi dan adanya potensi
krisis ekonomi kedatangannya tentu akan menjadi ancaman bisnis kita. Lebih baik
kita segera bersiap-siap dan melakukan antisipasi sebaik mungkin. Sedia payung sebelum
hujan begitu kata pepatah.
Apa yang harus kita persiapkan? Bagaimana perusahaan
kita menghadapi semua ini? Ada tiga fungsi manajemen yang perlu mendapat
penekanan bagi pelaku usaha dalam kondisi saat ini. Hal itu adalah manajemen
keuangan, pemasaran dan operasional.
Melihat kondisi ekonomi yang masih menunggu dan
cenderung melambat, perhatian terhadap pengelolaan keuangan dan portofolionya perlu
serius diperhatikan. Menjaga likuiditas perusahaan serta menjaga
profitabilistas adalah tujuan utama manajemen keuangan perusahaan yang harus
dicapai secara optimal. Likuditas yang
baik menjamin masalah kemampuan suatu perusahaan
untuk memenuhi kewajiban finansialnya yang harus dipenuhi. Aspek profitabilitas
berkaitan dengan kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva, maupun modal sendiri. Ketidak mampuan menjaga
likuiditas dan profitabilitas usaha dalam jangka panjang akan memberi kinerja
yang buruk bagi perusahaan.
Pelaku usaha perlu berhati-hati dalam pengambilan
keputusan investasi dan tidak melakukan
investasi dalam bentuk diversifikasi usaha yang sifatnya masih coba-coba dan
kurang ditinjau dengan feasibility study
yang akurat. Perusahaan tidak perlu tergiur dengan fasilitas kredit yang terus
menerus ditawarkan oleh bank. Pelaku usaha perlu melakukan take
over kredit usaha untuk mencapai biaya bunga usaha yang lebih rendah dan
fasilitas kredit yang lebih fleksibel. Adanya sumber-sumber pendanaan alternative
yang fleksibel perlu segera dipertimbangkan.
Dalam perspektif manajemen pemasaran, harga
produksi naik namun harga harus tetap kompetitif menjadi pemikiran utama bagi
pelaku usaha saat ini.
Modifikasi produk tanpa menghilangkan atribut produk yang telah kita miliki
seperti modifikasi kemasan yang rendah biaya produksinya dapat menjadi solusi.
Strategi diferensiasi dengan membuat produk kita unik di mata konsumen, dan
memiliki perbedaan dengan pesaing harus tetap kita lakukan dengan tetap
berfokus produksi biaya murah. Lini produk kita yang selama ini begitu
banyak, harusnya dievaluasi kembali untuk menghadirkan varian produk yang
betul-betul memberi keuntungan.
Strategi produk yang kita terapkan haruslah mendukung
kebijakan efisensi operasional perusahaan. Naiknya biaya-biaya dari faktor
produksi lainnya seperti biaya tenaga kerja dengan naiknya UMR (Upah Minimum
Regional) harga BBM dan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berasal dari kebijakan pemerintah
mau tidak mau kita hadapi sebagai kenaikan biaya produksi yang akan mengancam
pasar potensial kita bila harga produk/jasa kita naik.
Dalam bidang manajemen operasional isu utama adalah
naiknya biaya produksi akan menaikkan pula anggaran produksi perusahaan.
Pengusaha hendaknya mencari cara agar efisiensi perusahaan tetap terjaga.
Faktor tenaga kerja merupakan salah satu biaya terbesar, perlu dipertimbangkan
kembali untuk merekrut karyawan baru, atau dianggap perlu melakukan lay-off karyawaan untuk mencapai efisiensi jangka panjang.
Intinya tidak perlu ragu melakukan efisiensi perusahaan baik berbentuk
penghematan biaya tenaga kerja, anggaran
pemasaran, biaya overhead, dan
biaya-biaya lainnya yang dianggap bisa ditiadakan untuk penghematan perusahaan
(penurunan biaya produksi).
Kebijakan perusahaan agar selalu efisien dengan
memangkas biaya-biaya operasional, melakukan diferensiasi produk, memperhatikan kembali sikap konsumen terhadap
produk/jasa yang ditawarkan karena
perubahaan daya beli, serta menjaga kesehatan keuangan perusahaan merupakan faktor
penting dalam menghadapi kelesuan ekonomi saat ini.
Dosen Fakultas Ekonomi & Bisnis UNHAS.
massepe@gmail.com