Ada yang
menyarankan agar saya membaca buku Who Moved My Cheese?, karya Dr.
Spencer Johnson. Karena isinya sangat menarik dan relevan dalam menyikapi
perubahan dewasa ini, dalam tempo singkat buku itu langsung saya lahap. Buku
ini bercerita tentang empat "karakter" dalam menyikapi perubahan.
Dalam kehidupan,
kata Ken Blanchard--kolega Johnson yang memberi kata pengantar dalam buku
ini--kita memang memburu sesuatu. Sesuatu yang kita cari dalam hidup ini amat
bervariasi: pekerjaan, kasih sayang, kesehatan, cinta, kebebasan, kemerdekaan,
kedamaian, pengakuan, atau uang, rumah besar, mobil, untung dalam berusaha.
Semua yang dicari manusia dalam kehidupan itu dimetaforakan dengan begitu indah
oleh Johnson sebagai keju (cheese).
Tapi, tentu saja
apa yang kita cari itu tidak selalu ada begitu saja. Kita harus bekerja untuk
mendapatkannya. Setelah didapat, ternyata keju pun tak selalu ada di sana. Si
keju bisa berkurang, berpindah. Persoalannya, bagaimana kita tahu apa yang kita
cari itu bisa berubah dari waktu ke waktu, atau bagaimana menghadapi
perubahan-perubahan itu agar kita bisa mendapatkannya kembali?
Empat karakter
yang dilukiskan Johnson terdiri dari dua ekor tikus bernama "Sniff"
dan "Scurry" dan dua manusia kecil bernama "Hem"
dan "Haw". Keempatnya bergerak menjelajahi sebuah maze,
jalan berliku yang banyak pilihan, namun beberapa di antaranya buntu sehingga
mereka harus kembali lagi mencari jalan yang benar. Kalau ketemu, mereka akan
bermuara pada beberapa stasiun. Keju kehidupan atau kebahagiaan yang
diceritakan dalam buku ini ada pada beberapa stasiun tersebut. Tentu saja
keempat karakter itu harus bergerak, mencari keju yang dimaksud.
Sniff dan
Scurry, sesuai dengan namanya, adalah karakter yang selalu bergegas, bergerak
menggunakan naluri dan penciumannya. Adapun Hem dan Haw adalah kiasan tentang
karakter yang ragu-ragu dalam bertindak. Meski karakternya antagonis, akhirnya
keempat karakter tersebut berhasil menemui keju mereka masing-masing di stasiun
yang berbeda. Tapi, seperti biasa, esoknya mereka kembali ke tempat yang sama
untuk menikmati keju tersebut. Demikian seterusnya dari hari ke hari, seperti
manusia berangkat dan pulang bekerja menuju tempat yang sama.
Kisah ini
menjadi menarik ketika Hem dan Haw tiba-tiba protes karena keju yang mereka
cari tidak lagi berada di tempatnya. Mulanya mereka marah dan berteriak. Mereka
tidak mencarinya di tempat lain, tapi lebih banyak berdiskusi. Mereka percaya,
keju itu cuma pergi sebentar dan nanti akan ada lagi seperti semula. Yang tidak
mereka sadari, perubahan sudah terjadi perlahan-lahan. Keju itu sudah mulai
berkurang dari waktu ke waktu sampai akhirnya hilang. Setelah lama tidak
kembali, akhirnya mereka mengalami keletihan. Pada saat itulah mereka mulai
menduga jangan-jangan keju itu telah pindah ke stasiun lain. Mereka lalu
mengambil palu, menjebol dinding sebelah, tapi sayang keju itu tak ada di sana.
Itulah manusia
yang berpikir kompleks, yang terikat dengan pikiran-pikiran dan
pengalaman-pengalaman masa lalunya. Mereka bekerja dengan menggunakan metode
yang kompleks, jelimet, terlalu menggantungkan pada kemampuan otaknya, yang
kadang diwarnai sudut pandang yang dianutnya.
Adapun Sniff dan
Scurry adalah karakter manusia "tikus" yang berpikir sederhana.
Begitu sederhananya, sehingga intuisi lebih banyak berperan. Tanpa pengetahuan,
manusia akan bergerak tidak efisien, metodenya trial and error.
Ia lebih banyak menggunakan penciumannya ketimbang otak atau pengetahuannya.
Maka, ketika keju itu berkurang, nalurinya segera memerintahkan untuk melakukan
sesuatu. Demikian pula ketika keju itu hilang, mereka tidak berpikir atau
berdiskusi lebih dulu, tapi langsung mencari ke sana-ke sini.
Menariknya, mereka yang berpikir sederhana inilah yang akhirnya selamat dalam perubahan. Mereka capek, tidak efisien, tapi tidak pernah putus asa sampai akhirnya menemukan stasiun lain yang masih ada kejunya.
Menariknya, mereka yang berpikir sederhana inilah yang akhirnya selamat dalam perubahan. Mereka capek, tidak efisien, tapi tidak pernah putus asa sampai akhirnya menemukan stasiun lain yang masih ada kejunya.
Pembaca, ketika
rupiah kembali melemah dan menembus batas psikologis Rp 10.000 per dolar AS,
tentu saja banyak pihak yang panik. Saya percaya sedikit sekali di antara kita
yang bisa lolos dari persoalan ini. Keju kehidupan yang lama kita nikmati bisa
menghilang tiba-tiba. Tapi, tentu saja di antara Saudara ada yang mempunyai
"karakter tikus". Manusia "Hem dan Haw" sebaliknya akan
menghadapi perubahan ini dengan keragu-raguan, tapi mereka tetaplah manusia.
Berpikir
kompleks dan berpikir sederhana tentu saja ada di mana-mana. Tinggal Saudara
mengatur berapa besar kadarnya untuk menciptakan keseimbangan dalam hidup. Kata
Albert Einstein, "Everything should be made as simple as possible, but
not simpler." Saya sudah lama menganut falsafah itu, sehingga dalam
berceramah atau menulis, memberi pelatihan atau mengajar, saya selalu percaya
bahwa topik berat harus bisa disajikan dengan sesederhana mungkin agar bisa
digunakan untuk kehidupan.
Oleh Rhenald Kasali