Rabu, Maret 23, 2011

Berpikir Sederhana


Ada yang menyarankan agar saya membaca buku Who Moved My Cheese?, karya Dr. Spencer Johnson. Karena isinya sangat menarik dan relevan dalam menyikapi perubahan dewasa ini, dalam tempo singkat buku itu langsung saya lahap. Buku ini bercerita tentang empat "karakter" dalam menyikapi perubahan.

Dalam kehidupan, kata Ken Blanchard--kolega Johnson yang memberi kata pengantar dalam buku ini--kita memang memburu sesuatu. Sesuatu yang kita cari dalam hidup ini amat bervariasi: pekerjaan, kasih sayang, kesehatan, cinta, kebebasan, kemerdekaan, kedamaian, pengakuan, atau uang, rumah besar, mobil, untung dalam berusaha. Semua yang dicari manusia dalam kehidupan itu dimetaforakan dengan begitu indah oleh Johnson sebagai keju (cheese).

Tapi, tentu saja apa yang kita cari itu tidak selalu ada begitu saja. Kita harus bekerja untuk mendapatkannya. Setelah didapat, ternyata keju pun tak selalu ada di sana. Si keju bisa berkurang, berpindah. Persoalannya, bagaimana kita tahu apa yang kita cari itu bisa berubah dari waktu ke waktu, atau bagaimana menghadapi perubahan-perubahan itu agar kita bisa mendapatkannya kembali?

Empat karakter yang dilukiskan Johnson terdiri dari dua ekor tikus bernama "Sniff" dan "Scurry" dan dua manusia kecil bernama "Hem" dan "Haw". Keempatnya bergerak menjelajahi sebuah maze, jalan berliku yang banyak pilihan, namun beberapa di antaranya buntu sehingga mereka harus kembali lagi mencari jalan yang benar. Kalau ketemu, mereka akan bermuara pada beberapa stasiun. Keju kehidupan atau kebahagiaan yang diceritakan dalam buku ini ada pada beberapa stasiun tersebut. Tentu saja keempat karakter itu harus bergerak, mencari keju yang dimaksud.

Sniff dan Scurry, sesuai dengan namanya, adalah karakter yang selalu bergegas, bergerak menggunakan naluri dan penciumannya. Adapun Hem dan Haw adalah kiasan tentang karakter yang ragu-ragu dalam bertindak. Meski karakternya antagonis, akhirnya keempat karakter tersebut berhasil menemui keju mereka masing-masing di stasiun yang berbeda. Tapi, seperti biasa, esoknya mereka kembali ke tempat yang sama untuk menikmati keju tersebut. Demikian seterusnya dari hari ke hari, seperti manusia berangkat dan pulang bekerja menuju tempat yang sama.

Kisah ini menjadi menarik ketika Hem dan Haw tiba-tiba protes karena keju yang mereka cari tidak lagi berada di tempatnya. Mulanya mereka marah dan berteriak. Mereka tidak mencarinya di tempat lain, tapi lebih banyak berdiskusi. Mereka percaya, keju itu cuma pergi sebentar dan nanti akan ada lagi seperti semula. Yang tidak mereka sadari, perubahan sudah terjadi perlahan-lahan. Keju itu sudah mulai berkurang dari waktu ke waktu sampai akhirnya hilang. Setelah lama tidak kembali, akhirnya mereka mengalami keletihan. Pada saat itulah mereka mulai menduga jangan-jangan keju itu telah pindah ke stasiun lain. Mereka lalu mengambil palu, menjebol dinding sebelah, tapi sayang keju itu tak ada di sana.

Itulah manusia yang berpikir kompleks, yang terikat dengan pikiran-pikiran dan pengalaman-pengalaman masa lalunya. Mereka bekerja dengan menggunakan metode yang kompleks, jelimet, terlalu menggantungkan pada kemampuan otaknya, yang kadang diwarnai sudut pandang yang dianutnya.

Adapun Sniff dan Scurry adalah karakter manusia "tikus" yang berpikir sederhana. Begitu sederhananya, sehingga intuisi lebih banyak berperan. Tanpa pengetahuan, manusia akan bergerak tidak efisien, metodenya trial and error. Ia lebih banyak menggunakan penciumannya ketimbang otak atau pengetahuannya. Maka, ketika keju itu berkurang, nalurinya segera memerintahkan untuk melakukan sesuatu. Demikian pula ketika keju itu hilang, mereka tidak berpikir atau berdiskusi lebih dulu, tapi langsung mencari ke sana-ke sini.
Menariknya, mereka yang berpikir sederhana inilah yang akhirnya selamat dalam perubahan. Mereka capek, tidak efisien, tapi tidak pernah putus asa sampai akhirnya menemukan stasiun lain yang masih ada kejunya.

Pembaca, ketika rupiah kembali melemah dan menembus batas psikologis Rp 10.000 per dolar AS, tentu saja banyak pihak yang panik. Saya percaya sedikit sekali di antara kita yang bisa lolos dari persoalan ini. Keju kehidupan yang lama kita nikmati bisa menghilang tiba-tiba. Tapi, tentu saja di antara Saudara ada yang mempunyai "karakter tikus". Manusia "Hem dan Haw" sebaliknya akan menghadapi perubahan ini dengan keragu-raguan, tapi mereka tetaplah manusia.

Berpikir kompleks dan berpikir sederhana tentu saja ada di mana-mana. Tinggal Saudara mengatur berapa besar kadarnya untuk menciptakan keseimbangan dalam hidup. Kata Albert Einstein, "Everything should be made as simple as possible, but not simpler." Saya sudah lama menganut falsafah itu, sehingga dalam berceramah atau menulis, memberi pelatihan atau mengajar, saya selalu percaya bahwa topik berat harus bisa disajikan dengan sesederhana mungkin agar bisa digunakan untuk kehidupan.
 
Oleh Rhenald Kasali