No Charge
Pada suatu sore, seorang anak menghampiri ibunya
di dapur, yang sedang menyiapkan makan malam, dan ia
menyerahkan selembar kertas yang selesai
ditulisinya.
Setelah ibunya mengeringkan tangannya dengan
celemek, ia membacanya dan inilah tulisan si anak:
Ma, berikut ini utang mama kepada saya selama ini:
Untuk memotong rumput Rp 50.000
Untuk membersihkan kamar minggu ini Rp 10.000
Untuk pergi ke toko menggantikan mama Rp 25.000
Untuk menjaga adik waktu mama belanja Rp 25.000
Untuk membuang sampah Rp 10.000
Untuk rapor yang bagus Rp 50.000
Untuk membersihkan dan menyapu halaman Rp 30.000
Jumlah utang Rp 200.000
Si ibu memandang anaknya yang berdiri di situ
dengan penuh harap, berbagai kenangan terlintas
dalam pikiran ibu itu. Jadi, ia mengambil bolpen,
membalikkan kertasnya, dan inilah yang
dituliskannya:
Untuk sembilan bulan ketika mama mengandung kamu
selama kamu tumbuh dalam perut mama, GRATIS.
Untuk semua malam ketika mama menemani kamu,
mengobati kamu, dan mendoakan kamu, GRATIS.
Untuk semua saat susah, dan semua air mata
yang kamu sebabkan selama ini, GRATIS.
Untuk semua malam yang dipenuhi rasa takut dan
untuk rasa cemas di waktu yang akan datang, GRATIS.
Untuk mainan, makanan, baju, dan juga menyeka
hidungmu, GRATIS, Anakku.
Dan kalau kamu menjumlahkan semuanya, harga
cinta sejati mama adalah GRATIS.
Ketika anak itu selesai membaca apa yang ditulis
ibunya, air matanya berlinang, dan ia menatap
wajah ibunya dan berkata:
"Ma, aku sayang sekali pada Mama."
Dan kemudian ia mengambil bolpen dan menulis
dengan huruf besar? "LUNAS".
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
Catatan: Posting ini pernah dimuat dimilis resonansi tanggal 19
November 2002
Terima Kasih sudah berkunjung di blog saya. Blog ini berisi tulisan-tulisan pribadi mengenai bisnis, manajemen, sosial budaya, dan lainnya. Tujuannya taklain sekedar ingin berbagi pengetahuan dan berdiskusi dengan Anda. Andi M Nur Bau Massepe 081242940124 massepe@gmail.com
Sabtu, Desember 25, 2004
B O P S Y
B O P S Y
Bopsy adalah seorang anak laki-laki yang cerdas berumur
tujuh tahun dan tinggal di Los Angeles. Sebagai seorang anak
tunggal, Bopsy tergolong anak yang cerdas dan suka menolong teman-
temannya. Dia mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang petugas
pemadam kebakaran, karena menurutnya pekerjaan tersebut sangat
menantang dan mulia. Namun nasib baik tampaknya kurang berpihak
kepada Bopsy. Suatu hari Bopsy pingsan ketika berada di sekolah.
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter, nampaknya Bopsy
menderita suatu kanker ganas di kepalanya, dan usianya diperkirakan
hanya dapat bertahan dua bulan lagi.
Sang ibu, tidak dapat menahan kesedihannya dan menangis
tersedu-sedu mendengar vonis dokter tersebut. Kemudian sambil
terisak, ibu tersebut mendekati Bopsy dan bertanya,"Anakku, jikalau
dapat, ibu ingin memberikan seluruh hidupku sebagai pengganti
kehidupanmu. Rasanya tidak adil bahwa kamu hanya dapat mengecap
sesaat kehidupan yang indah ini. Apakah yang dapat ibu perbuat
anakku, sehingga dirimu dapat merasakan kebahagiaan yang
sesungguhnya, walau waktumu hanya dua bulan ?". "Ibu", jawab
Bopsy, "Ibu sudah tahu bahwa sejak dulu aku ingin sekali menjadi
seorang petugas pemadam kebakaran. Bolehkah aku mulai bekerja
sekarang ?" pinta Bopsy dengan penuh harap. "Tentu anakku, tentu
saja. Kau dapat bekerja mulai besok". Kebetulan sang ibu mempunyai
seorang teman baik yang bekerja sebagai komandan pemadam kebakaran
di Los Angeles. Sang ibu mengemukakan apa yang terjadi pada Bopsy,
dan Fred, komandan pemadam itu merasa tersentuh hatinya. Dia setuju
bila Bopsy dapat membantu tugasnya secepatnya.
Keesokan harinya adalah hari yang paling membanggakan bagi
Bopsy. Sepulang dari sekolah, secepatnya dia berlari kerumah, makan
siang, kemudian berlari cepat-cepat dengan seragam pemadam yang
dibanggakannya itu ke markasnya yang baru di ujung jalan tersebut.
Bopsy mulai berlatih sama seperti rekan-2 lainnya yang sudah dewasa,
berlari, memanjat, dan aktivitas-2 lainnya. Dalam satu bulan setelah
Bopsy bergabung, dia sudah tiga kali ikut dengan rekan-2nya untuk
memadamkan kebakaran. Dan Bopsy melakukan itu semua dengan penuh
semangat dan motivasi yang luar biasa. Semua rekan-2nya yang lain
merasa kagum dan tersentuh hatinya dengan apa yang dilakukan Bopsy,
karena mereka tahu bahwa rekan kecil mereka tidak lama lagi akan
meninggalkan mereka. Hanya satu hal yang masih mengganjal di hati
Bopsy, bahwa karena keterbatasan tubuhnya yang masih kecil, setiap
kali bertugas di lokasi kebakaran, Bopsy hanya bertugas untuk
mengatur selang-2 air saja. Bopsy tidak puas dengan hal itu, karena
menurutnya petugas pemadam kebakaran yang sejati adalah kalau mereka
sudah berhasil menyelamatkan seorang korban dari lantai atas gedung
dan membawanya turun dengan selamat.
Dan hari terakhir itupun tibalah. Bopsy terbaring lemah di
tempat tidur di rumah sakit di lantai tiga. Seluruh keluarga dan
rekan-2nya sesama petugas pemadam kebakaran telah hadir di samping
tempat tidurnya. Mereka menunggu detik-detik akhir kehidupan Bopsy
sambil meneteskan air mata. Sang ibu sambil tersedu bertanya kepada
Bopsy,"Anakku, masih adakah yang dapat ibu lakukan agar dirimu dapat
pergi dengan tenang ?" Bopsy, dengan lemah berkata,"Aku sudah
menjadi petugas pemadam kebakaran, tapi aku belum pernah satu
kalipun menyelamatkan seseorang. Aku belumlah menjadi seorang
petugas pemadam kebakaran yang sejati. Bisakah aku melakukan itu
sekarang, Mr. Fred ? "sambil bertanya matanya menatap sang komandan.
Fred, sang komandan menarik napas menahan haru lalu berkata "Baiklah
Bopsy, sekarang juga saya perintahkan kamu untuk membawa boneka
Teddymu untuk turun ke bawah". Kemudian Fred membuka jendela rumah
sakit di lantai tiga tersebut, dan memerintahkan rekan-2nya yang
berada di bawah untuk mengarahkan tangga mobil pemadam ke jendela
tersebut.
Bopsy, dengan sisa tenaga yang ada dan langkah yang gemetar
mulai berjalan menggendong boneka Teddynya dan berjalan ke jendela
tersebut. Dan dibawah sana, ratusan orang sudah berkumpul untuk
menyaksikan peristiwa yang luar biasa ini. Rupanya, berita mengenai
Bopsy telah menyebar hingga ke seluruh pelosok kota. Perlahan-lahan,
satu demi satu, Bopsy mulai menuruni tangga pemadam tersebut. Semua
orang bertepuk tangan dan mereka berteriak "Bopsy ….. Bopsy……Ayo,
kamu bisa !". Dan Bopsy terus turun langkah demi langkah.
Akhirnya sampailah juga Bopsy di bawah. Tenaganya benar-
benar telah habis begitu dia sampai di bawah. Ratusan orang yang
mengerumuninya semua bertepuk tangan sambil menangis, mereka terus
berteriak "Bopsy …. Bopsy…!". Dan Bopsy, dengan tersenyum,
berkata "Terima kasih ibu, terima kasih Mr. Fred, karena sudah
memberikan saya kesempatan untuk menjadi petugas pemadam kebakaran
yang sejati. Sekarang, ijinkan saya pergi". Dan Bopsy pun meninggal
dengan tenang dalam pelukan ibunya …………………............….
Diadaptasi dari DARE TO WIN
By Mark Victor Hansen & Jack Canfield
milis the accesia
Bopsy adalah seorang anak laki-laki yang cerdas berumur
tujuh tahun dan tinggal di Los Angeles. Sebagai seorang anak
tunggal, Bopsy tergolong anak yang cerdas dan suka menolong teman-
temannya. Dia mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang petugas
pemadam kebakaran, karena menurutnya pekerjaan tersebut sangat
menantang dan mulia. Namun nasib baik tampaknya kurang berpihak
kepada Bopsy. Suatu hari Bopsy pingsan ketika berada di sekolah.
Dari pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter, nampaknya Bopsy
menderita suatu kanker ganas di kepalanya, dan usianya diperkirakan
hanya dapat bertahan dua bulan lagi.
Sang ibu, tidak dapat menahan kesedihannya dan menangis
tersedu-sedu mendengar vonis dokter tersebut. Kemudian sambil
terisak, ibu tersebut mendekati Bopsy dan bertanya,"Anakku, jikalau
dapat, ibu ingin memberikan seluruh hidupku sebagai pengganti
kehidupanmu. Rasanya tidak adil bahwa kamu hanya dapat mengecap
sesaat kehidupan yang indah ini. Apakah yang dapat ibu perbuat
anakku, sehingga dirimu dapat merasakan kebahagiaan yang
sesungguhnya, walau waktumu hanya dua bulan ?". "Ibu", jawab
Bopsy, "Ibu sudah tahu bahwa sejak dulu aku ingin sekali menjadi
seorang petugas pemadam kebakaran. Bolehkah aku mulai bekerja
sekarang ?" pinta Bopsy dengan penuh harap. "Tentu anakku, tentu
saja. Kau dapat bekerja mulai besok". Kebetulan sang ibu mempunyai
seorang teman baik yang bekerja sebagai komandan pemadam kebakaran
di Los Angeles. Sang ibu mengemukakan apa yang terjadi pada Bopsy,
dan Fred, komandan pemadam itu merasa tersentuh hatinya. Dia setuju
bila Bopsy dapat membantu tugasnya secepatnya.
Keesokan harinya adalah hari yang paling membanggakan bagi
Bopsy. Sepulang dari sekolah, secepatnya dia berlari kerumah, makan
siang, kemudian berlari cepat-cepat dengan seragam pemadam yang
dibanggakannya itu ke markasnya yang baru di ujung jalan tersebut.
Bopsy mulai berlatih sama seperti rekan-2 lainnya yang sudah dewasa,
berlari, memanjat, dan aktivitas-2 lainnya. Dalam satu bulan setelah
Bopsy bergabung, dia sudah tiga kali ikut dengan rekan-2nya untuk
memadamkan kebakaran. Dan Bopsy melakukan itu semua dengan penuh
semangat dan motivasi yang luar biasa. Semua rekan-2nya yang lain
merasa kagum dan tersentuh hatinya dengan apa yang dilakukan Bopsy,
karena mereka tahu bahwa rekan kecil mereka tidak lama lagi akan
meninggalkan mereka. Hanya satu hal yang masih mengganjal di hati
Bopsy, bahwa karena keterbatasan tubuhnya yang masih kecil, setiap
kali bertugas di lokasi kebakaran, Bopsy hanya bertugas untuk
mengatur selang-2 air saja. Bopsy tidak puas dengan hal itu, karena
menurutnya petugas pemadam kebakaran yang sejati adalah kalau mereka
sudah berhasil menyelamatkan seorang korban dari lantai atas gedung
dan membawanya turun dengan selamat.
Dan hari terakhir itupun tibalah. Bopsy terbaring lemah di
tempat tidur di rumah sakit di lantai tiga. Seluruh keluarga dan
rekan-2nya sesama petugas pemadam kebakaran telah hadir di samping
tempat tidurnya. Mereka menunggu detik-detik akhir kehidupan Bopsy
sambil meneteskan air mata. Sang ibu sambil tersedu bertanya kepada
Bopsy,"Anakku, masih adakah yang dapat ibu lakukan agar dirimu dapat
pergi dengan tenang ?" Bopsy, dengan lemah berkata,"Aku sudah
menjadi petugas pemadam kebakaran, tapi aku belum pernah satu
kalipun menyelamatkan seseorang. Aku belumlah menjadi seorang
petugas pemadam kebakaran yang sejati. Bisakah aku melakukan itu
sekarang, Mr. Fred ? "sambil bertanya matanya menatap sang komandan.
Fred, sang komandan menarik napas menahan haru lalu berkata "Baiklah
Bopsy, sekarang juga saya perintahkan kamu untuk membawa boneka
Teddymu untuk turun ke bawah". Kemudian Fred membuka jendela rumah
sakit di lantai tiga tersebut, dan memerintahkan rekan-2nya yang
berada di bawah untuk mengarahkan tangga mobil pemadam ke jendela
tersebut.
Bopsy, dengan sisa tenaga yang ada dan langkah yang gemetar
mulai berjalan menggendong boneka Teddynya dan berjalan ke jendela
tersebut. Dan dibawah sana, ratusan orang sudah berkumpul untuk
menyaksikan peristiwa yang luar biasa ini. Rupanya, berita mengenai
Bopsy telah menyebar hingga ke seluruh pelosok kota. Perlahan-lahan,
satu demi satu, Bopsy mulai menuruni tangga pemadam tersebut. Semua
orang bertepuk tangan dan mereka berteriak "Bopsy ….. Bopsy……Ayo,
kamu bisa !". Dan Bopsy terus turun langkah demi langkah.
Akhirnya sampailah juga Bopsy di bawah. Tenaganya benar-
benar telah habis begitu dia sampai di bawah. Ratusan orang yang
mengerumuninya semua bertepuk tangan sambil menangis, mereka terus
berteriak "Bopsy …. Bopsy…!". Dan Bopsy, dengan tersenyum,
berkata "Terima kasih ibu, terima kasih Mr. Fred, karena sudah
memberikan saya kesempatan untuk menjadi petugas pemadam kebakaran
yang sejati. Sekarang, ijinkan saya pergi". Dan Bopsy pun meninggal
dengan tenang dalam pelukan ibunya …………………............….
Diadaptasi dari DARE TO WIN
By Mark Victor Hansen & Jack Canfield
milis the accesia
Oh Anak...
Oh Anak...
Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi meninggalkanku. Sementara
aku,
sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar
kami
di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja
padaku,
seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan suamiku
yang
kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.
Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya
kepada orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci
rumah-rumah itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah
departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang
mengharapkan langkahnya tidak terhalang sebutir kerikilpun. Ia
melakukannya
karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung
jawab.
Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun. Sehari
sebelumnya ia sempat berbicara kepadaku, telah merasa lengkap menjadi
ayah
karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir, besar,
bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja,
menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya, dan memiliki anak.
Ia
dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang pernah ia pesankan.
Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah kami. Menjelang jam
tujuh pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur,
membuatkan secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya
mendapat cerita ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku. Maka
tadi
sore ia datang dan meminta aku tinggal di rumah besarnya di Ciputat.
Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa kasihan pada mendiang
suamiku, tapi ia tetap berkeras seperti ayahnya. Ia mengatakan akan
lebih
mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika aku tinggal
bersamanya. "Di
kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama. Kalau
tetap di sini Mama akan terus bersedih. Biarlah rumah ini Suci yang
menjaga
dan mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi dan Bang Ali." Akhirnya aku
menyetujui saja.
Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara
anak-anakku,
selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang. Dan anakku
yang
nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika aku
masih
mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika aku sudah tertidur.
Dalam
seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau tiga kali. Bahkan
bisa
tidak sama sekali.
Aku sering mengingat masa ketika mereka kecil. Waktu itu setiap hari
aku
bisa bertemu mereka. Lalu ketika mereka masuk perguruan tinggi dan
bekerja,
aku pun mulai jarang bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan tinggal di
rumah-rumah yang diberikan suamiku, memiliki anak dan sibuk dengan
istri
atau suaminya, aku sudah tidak banyak berharap mereka akan mudah
kutemui.
Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi
hari
pun tidak. Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku melahirkan,
mendidik, membesarkan, dan menyenangkan mereka. Aku tidak bermaksud
meminta
balasan. Tetapi bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri dan
tahu
berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu
mengajarkan untuk tidak melupakan
kebaikan seseorang.
Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan mengirimku ke sebuah panti
jompo, setelah istri dan ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang
selalu
menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku, karena katanya
mengganggu
tidur mereka. Dua minggu lalu ia mengundang adik-adiknya datang. Ketika
semua berkumpul, kecuali anakku yang nomor empat yang tinggal di
Australia,
ia memberitahukan keinginannya. "Lagipula Mama tidak mungkin kita
biarkan
kembali ke Tebet. Terlalu banyak kenangan tentang Papa di sana yang
bisa
membuat Mama sedih." Dua bulan lagi umurku 68 tahun.
Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja
anak-anakku
datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang
pernah
delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir pekan menjengukku.
Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri, dan anak-anak
mereka.
Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya uang jutaan rupiah
untuk
membeli tiket pesawat bagi tiga orang ke Jakarta lebih baik disimpannya
di
bank. Ia hanya mengirim kartu Lebaran disertai tulisan dan tanda
tangannya.
Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah kekasihnya. Katanya
karena
ia segan. Ingat, segan. Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu aku yang
sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok bila ia datang ke
rumahku
bersama orangtuanya. Lalu hingga kini tidak pernah lagi mereka datang.
Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku,
biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat, sejarah, sastra,
agama, sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.
Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari
pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti
di
rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan. Sarapan dan
makan
pun bebas memilih. Anak-anak telah membayar sangat tinggi untuk
menitipkanku
di sini. Aku jadi teringat masa ketika indekos ketika aku belajar
psikologi.
Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis cantik dan tidak untuk
menuntut ilmu apa-apa. Hanya menunggu ajal.
Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan berkumpul di
halaman
depan untuk berolahraga. Cukup tiga puluh menit sekadar untuk
meregangkan
otot-otot tua kami. Setelah itu kami diminta untuk membersihkan diri,
mandi
pagi lagi kalau mau. Pukul 08.00 biasanya kami akan berkumpul di ruang
makan
untuk sarapan. Mereka yang bangun terlambat dan tidak ingin berolahraga
dan
tidak ingin sarapan di ruang makan, bisa meminta petugas mengantarkan
sarapannya ke kamar.
Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan melakukan kegiatan apa
saja sesuai keinginan: merajut, melukis, menulis surat untuk anak-anak
kami,
bermain catur, berkebun, membaca, menonton TV, mendengar radio,
berbincang-bincang dengan teman-teman lain, atau tidur siang. Dan
setiap
pukul 16.30 kami biasanya akan duduk-duduk di teras panti sambil
menikmati
secangkir teh manis dan kue-kue kecil.
Setelah itu kami diminta untuk mandi sore. Pukul 19.00 kami kembali
berkumpul di ruang makan. Malam ini aku menikmati segelas air teh manis
hangat, nasi putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng dengan
kuah
kental kesukaanku. Hari ini tepat tiga tahun aku masuk panti.
Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca, setiap hari selalu
hanya membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid
perempuan, dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah
kulewatkan, juga buku-buku di perpustakaan. Selama lima tahun di sini,
aku
sudah membaca semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan
lainnya
kiriman anakku yang nomor satu.
Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua hari aku
membacanya,
dan tampaknya hari ini pun belum akan selesai. Padahal ketika muda
dahulu
satu buku tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari, dan buku sedang
cukup
setengah hari saja. Setelah tua aku menjadi mudah letih dan mengantuk.
Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku itu. Aku tiba-tiba saja
kembali
memikirkan suamiku dan juga umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku
tidak akan lama lagi di sini.
Teman-teman sebayaku semasa di perguruan tinggi, sudah banyak yang
tiada.
Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak umurku belasan tahun.
Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar 524 buah.
Tersimpan
rapi di perpustakaan pribadi di rumahku. Aku percaya anakku yang nomor
tujuh
akan menjaga buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai kegemaran yang sama
denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang lain, serta suamiku, juga
memiliki kegemaran yang sama. Hanya saja karena ia yang paling banyak
menghabiskan waktu bersamaku maka aku percaya ia akan menjaganya.
Ketika
masih tinggal bersamaku hampir setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke
toko
buku, membeli buku-buku kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai buku
psikologi, karena ilmu itulah yang mampu membuatku tertarik masuk ke
sebuah
fakultas hingga menyelesaikannya.
Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak melakukannya. Meski
berkeinginan,
namun semuanya kini hanya ada di dalam angan-angan dan
kenangan-kenanganku.
Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku
kegemaranku
terbaru. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan
panti
yang hanya beberapa puluh saja. Ketika minggu kedua tinggal di sini
pernah
kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab, "Uang panti tidak
cukup,
Nyonya."
"Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat tinggi untuk menitipkan
kami
di sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua yayasan yang mengatur.
Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di sini tidak terlalu
suka
membaca."
"Begitu? Bagaimana dia tahu?"
"Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapak
tidak
hanya panti ini."
"Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya?"
"Dengan senang hati, Nyonya. Dengan senang hati."
Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di
telepon
ia mengatakan buku-buku itu terlalu berharga karena ada yang sudah
berumur
puluhan tahun dan sudah tidak beredar di pasaran. Ketika kukatakan
buku-buku
itu akan lebih berharga jika dibaca orang lain, ia tetap tidak
memperbolehkannya. Katanya karena ia membaca pula buku-buku itu.
"Lagipula
anggaplah sebagai warisan yang Mama berikan untukku." Anak-anakku,
mereka
tidak pernah puas hanya menerima.
Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini.
Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun datang atau sekedar
menelepon. Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku
yang
pernah delapan tahun tinggal bersamaku.
Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado berisi selimut tebal
dan
kartu ucapan buatan pabrik. Kado itu diantar seorang sopirnya.
Ingat, sopir. Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk
bekerja.
Ingat, sibuk. Sekali lagi ingat, sibuk. Padahal dahulu ketika masih
tinggal
bersamaku, aku selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di hari
ulang
tahun mereka dan merayakannya bersama-sama.
Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan
mereka. Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka.
Ya!
[kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggal galah... kasih ibu
sepanjang masa, kasih anak sepenggal masa...]
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
milis resonansi@yahoogroups.com
Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi meninggalkanku. Sementara
aku,
sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar
kami
di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja
padaku,
seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan suamiku
yang
kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.
Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya
kepada orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci
rumah-rumah itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah
departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang
mengharapkan langkahnya tidak terhalang sebutir kerikilpun. Ia
melakukannya
karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung
jawab.
Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun. Sehari
sebelumnya ia sempat berbicara kepadaku, telah merasa lengkap menjadi
ayah
karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir, besar,
bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja,
menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya, dan memiliki anak.
Ia
dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang pernah ia pesankan.
Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah kami. Menjelang jam
tujuh pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur,
membuatkan secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya
mendapat cerita ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku. Maka
tadi
sore ia datang dan meminta aku tinggal di rumah besarnya di Ciputat.
Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa kasihan pada mendiang
suamiku, tapi ia tetap berkeras seperti ayahnya. Ia mengatakan akan
lebih
mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika aku tinggal
bersamanya. "Di
kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama. Kalau
tetap di sini Mama akan terus bersedih. Biarlah rumah ini Suci yang
menjaga
dan mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi dan Bang Ali." Akhirnya aku
menyetujui saja.
Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara
anak-anakku,
selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang. Dan anakku
yang
nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika aku
masih
mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika aku sudah tertidur.
Dalam
seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau tiga kali. Bahkan
bisa
tidak sama sekali.
Aku sering mengingat masa ketika mereka kecil. Waktu itu setiap hari
aku
bisa bertemu mereka. Lalu ketika mereka masuk perguruan tinggi dan
bekerja,
aku pun mulai jarang bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan tinggal di
rumah-rumah yang diberikan suamiku, memiliki anak dan sibuk dengan
istri
atau suaminya, aku sudah tidak banyak berharap mereka akan mudah
kutemui.
Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi
hari
pun tidak. Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku melahirkan,
mendidik, membesarkan, dan menyenangkan mereka. Aku tidak bermaksud
meminta
balasan. Tetapi bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri dan
tahu
berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu
mengajarkan untuk tidak melupakan
kebaikan seseorang.
Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan mengirimku ke sebuah panti
jompo, setelah istri dan ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang
selalu
menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku, karena katanya
mengganggu
tidur mereka. Dua minggu lalu ia mengundang adik-adiknya datang. Ketika
semua berkumpul, kecuali anakku yang nomor empat yang tinggal di
Australia,
ia memberitahukan keinginannya. "Lagipula Mama tidak mungkin kita
biarkan
kembali ke Tebet. Terlalu banyak kenangan tentang Papa di sana yang
bisa
membuat Mama sedih." Dua bulan lagi umurku 68 tahun.
Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja
anak-anakku
datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang
pernah
delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir pekan menjengukku.
Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri, dan anak-anak
mereka.
Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya uang jutaan rupiah
untuk
membeli tiket pesawat bagi tiga orang ke Jakarta lebih baik disimpannya
di
bank. Ia hanya mengirim kartu Lebaran disertai tulisan dan tanda
tangannya.
Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah kekasihnya. Katanya
karena
ia segan. Ingat, segan. Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu aku yang
sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok bila ia datang ke
rumahku
bersama orangtuanya. Lalu hingga kini tidak pernah lagi mereka datang.
Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku,
biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat, sejarah, sastra,
agama, sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.
Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari
pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti
di
rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan. Sarapan dan
makan
pun bebas memilih. Anak-anak telah membayar sangat tinggi untuk
menitipkanku
di sini. Aku jadi teringat masa ketika indekos ketika aku belajar
psikologi.
Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis cantik dan tidak untuk
menuntut ilmu apa-apa. Hanya menunggu ajal.
Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan berkumpul di
halaman
depan untuk berolahraga. Cukup tiga puluh menit sekadar untuk
meregangkan
otot-otot tua kami. Setelah itu kami diminta untuk membersihkan diri,
mandi
pagi lagi kalau mau. Pukul 08.00 biasanya kami akan berkumpul di ruang
makan
untuk sarapan. Mereka yang bangun terlambat dan tidak ingin berolahraga
dan
tidak ingin sarapan di ruang makan, bisa meminta petugas mengantarkan
sarapannya ke kamar.
Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan melakukan kegiatan apa
saja sesuai keinginan: merajut, melukis, menulis surat untuk anak-anak
kami,
bermain catur, berkebun, membaca, menonton TV, mendengar radio,
berbincang-bincang dengan teman-teman lain, atau tidur siang. Dan
setiap
pukul 16.30 kami biasanya akan duduk-duduk di teras panti sambil
menikmati
secangkir teh manis dan kue-kue kecil.
Setelah itu kami diminta untuk mandi sore. Pukul 19.00 kami kembali
berkumpul di ruang makan. Malam ini aku menikmati segelas air teh manis
hangat, nasi putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng dengan
kuah
kental kesukaanku. Hari ini tepat tiga tahun aku masuk panti.
Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca, setiap hari selalu
hanya membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid
perempuan, dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah
kulewatkan, juga buku-buku di perpustakaan. Selama lima tahun di sini,
aku
sudah membaca semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan
lainnya
kiriman anakku yang nomor satu.
Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua hari aku
membacanya,
dan tampaknya hari ini pun belum akan selesai. Padahal ketika muda
dahulu
satu buku tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari, dan buku sedang
cukup
setengah hari saja. Setelah tua aku menjadi mudah letih dan mengantuk.
Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku itu. Aku tiba-tiba saja
kembali
memikirkan suamiku dan juga umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku
tidak akan lama lagi di sini.
Teman-teman sebayaku semasa di perguruan tinggi, sudah banyak yang
tiada.
Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak umurku belasan tahun.
Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar 524 buah.
Tersimpan
rapi di perpustakaan pribadi di rumahku. Aku percaya anakku yang nomor
tujuh
akan menjaga buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai kegemaran yang sama
denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang lain, serta suamiku, juga
memiliki kegemaran yang sama. Hanya saja karena ia yang paling banyak
menghabiskan waktu bersamaku maka aku percaya ia akan menjaganya.
Ketika
masih tinggal bersamaku hampir setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke
toko
buku, membeli buku-buku kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai buku
psikologi, karena ilmu itulah yang mampu membuatku tertarik masuk ke
sebuah
fakultas hingga menyelesaikannya.
Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak melakukannya. Meski
berkeinginan,
namun semuanya kini hanya ada di dalam angan-angan dan
kenangan-kenanganku.
Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku
kegemaranku
terbaru. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan
panti
yang hanya beberapa puluh saja. Ketika minggu kedua tinggal di sini
pernah
kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab, "Uang panti tidak
cukup,
Nyonya."
"Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat tinggi untuk menitipkan
kami
di sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua yayasan yang mengatur.
Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di sini tidak terlalu
suka
membaca."
"Begitu? Bagaimana dia tahu?"
"Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapak
tidak
hanya panti ini."
"Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya?"
"Dengan senang hati, Nyonya. Dengan senang hati."
Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di
telepon
ia mengatakan buku-buku itu terlalu berharga karena ada yang sudah
berumur
puluhan tahun dan sudah tidak beredar di pasaran. Ketika kukatakan
buku-buku
itu akan lebih berharga jika dibaca orang lain, ia tetap tidak
memperbolehkannya. Katanya karena ia membaca pula buku-buku itu.
"Lagipula
anggaplah sebagai warisan yang Mama berikan untukku." Anak-anakku,
mereka
tidak pernah puas hanya menerima.
Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini.
Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun datang atau sekedar
menelepon. Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku
yang
pernah delapan tahun tinggal bersamaku.
Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado berisi selimut tebal
dan
kartu ucapan buatan pabrik. Kado itu diantar seorang sopirnya.
Ingat, sopir. Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk
bekerja.
Ingat, sibuk. Sekali lagi ingat, sibuk. Padahal dahulu ketika masih
tinggal
bersamaku, aku selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di hari
ulang
tahun mereka dan merayakannya bersama-sama.
Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan
mereka. Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka.
Ya!
[kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggal galah... kasih ibu
sepanjang masa, kasih anak sepenggal masa...]
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)
milis resonansi@yahoogroups.com
Rabu, Desember 22, 2004
Wanita, Istri dan Mantan Istri
Wanita, Istri dan Mantan Istri
Suatu sore dipinggiran kampus, aku seperti biasa, makan nasi goreng
kesukaanku. Nasi goreng. Ya hanya nasi goreng yang biasa dijajakan melalui
gerobak dorong. Boleh di kata bahwa inilah nasi goreng kesukaannku,
selain enak juga murah. Sekian lama aku menjadi pelanggan, sedikit demi
sedikit muncul keberanianku untuk bertanya masalah yang cukup sensitif :
Masalah keluarga.
Pak Toyib (nama samaran), memang selalu mengganjal dalam fikiranku.
Karena ketika kami berinteraksi, tampak jelas dari isi pembicaraan, gaya
bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang tidak berpengalaman.
Usianya sekitar 68 tahun, meskipun rambut dan kumisnya telah memutih,
tetapi tatapan matanya sangatlah tajam, setajam tatapan mata para dosen di
kampusku. Terkadang aku kasihan melihatnya, karena tampak ia dengan
sangat terpaksa mendorong gerobak. Tubuhnya tidaklah kekar.
Waktu itu kebetulan tidak ada pembeli yang singgah, sehingga sambil
menikmati nasi goreng aku dapat mendengarkan kisah hidupnya. Seperti yang
telah beliau ceritakan, bahwa beliau memiliki lima orang anak. Dua
orang dari istri pertama, dan tiga orang dari istri kedua.
Dengan nafas sedikit tersengal dan tatapan matanya kosong, beliau
bercerita mengenai pertemuan dengan istri pertamanya. Beliau sangat tertarik
dengannya karena ia adalah wanita yang sangat baik dan taat pada agama,
meskipu wajahnya tidak cantik, toh beliau sangat bahagia. Sang istri
sangat memanjakan beliau dengan kasih sayang disamping bantuan ekonomi
karena ia juga bekerja sebagai guru SMP.
Prahara mulai datang ketika karier beliau meningkat. Perusahaan
menunjuk beliau sebagai pimpinan cabang. Keadaan ekonomi yang meningkat sangat
menentramkan hati keluarganya apalagi di keluarga baru lahir anak yang
kedua. Hati Pak Toyib merasa senang, ia sangat bersyukur pada Tuhan.
Tetapi, sore itu sepulang kantor, ia melihat sesosok wanita yang
kebingungan di lapangan banteng. Tampak jelas terlihat bahwa wanita tersebut
bukanlah penduduk Jakarta. Wajah wanita itu mengingatkan beliau pada
adiknya yang telah meninggal, sehingga pada akhirnya iapun menberikan jasa
dengan mengontrakkan sebuah rumah, sebelum si wanita mandiri.
Kesibukannya di kantor membuat beliau jarang berhubungan dengan sang
istri, sebaliknya kini beliau lebih sering bertemu dengan si wanita.
Witing tresno jalaran soko kulino , begitulah orang jawa biasa bilang:
Beliaupun akhirnya jatuh cinta pada si wanita.
Begitu mengetahui bahwa beliau memiliki WIL, sang istri menjadi sangat
frustasi. Hari-harinya berubah. Sang istri kerap singgah dari tempat
bilyard satu ke tempat bilyard yang lain. Anak pu menjadi tidak terurus.
Akhirnya keduanyapun sepakat untuk berpisah. Beliau tampak menitikkan
air mata.
Pak Toyib menikah dengan si wanita, sementara sang istri menjadi single
parent. Pada mulanya kehidupan belau cukup bahagia meskipun sang istri
tidaklah seperhatian istri pertama. Anak ketigapun lahir, semakin
bahagialah keluarga ini tetapi saat itu beliau sudah cukup berumur, sehingga
harus siap-siap pensiun. Selepas pensiun beliau sibuk mencari pekerjaan
lai untuk mensupport kebutuhan keluarga.
Sang istri yang tidak terbiasa hidup susah, tidak mau perduli dengan
perubahan ekonomi keluarga. Ia hanya pergi pada siang hari dan pulang
pada malam hari untuk kegiatan yang tidak jelas. Anakpun demikian, mereka
hanya menganggap beliau sebagai sapi perahan. Anak yang pertama
bercerai dengan istrinya karena meskipun pengangguran, ia punya kekasih yang
lain. Anak kedua tidak jelas nasibnya, sedangkan anak ketiga ingin masuk
perguruan tinggi favourite tapi kurang motivasi, sehingga sia-sialah
segala uang yang di keluarkan untuk biaya bimbingan belajar.
Seiring dengan menurunnya kondisi keuangan, maka beliaupun menjual
rumah di Jakarta dan memilih tinggal di daerah Depok. Tetapi, kondisi buruk
terus menimpanya, ia di pecat dari perusahaan. Beliau coba telpon semua
kolega, akan tetapi tidak ada satu orangpun yang dapat membantunya,
karena memang sekarangpun mereka telah memasuki masa pensiun.
"Ya, malu, sangat malu", Kata beliau.
Berbeda dengan kondisi beliau, kondisi mantan sang istri jauh lebih
baik. Selepas cerai, mantan sang istri mati-matian berjuang untuk
menghidupi anak-anaknya. Mantan sang istri tidak hanya berhenti bermain
bilyard, tetapi juga berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan pada
anak-anaknya. Sekarang sang istri tampak seperti seorang "pensiunan" yang bahagia,
karena kedua anaknya telah sukses. Bahkan sesekali kedua anaknya
mengirimkan uang untuk Pak Toyib. Kini beliau hanya bisa menatap dan meratap.
Ingin beliau memeluk dan mencium mantan sang istri sambil mengucapkan
seribu kata penyesalan, namun agaknya semuanya telah berlalu dan tidak
akan berulang. Di dunia ini sepertinya syurga bukanlah diperuntukkan
bagi beliau, kata beliau menyimpulkan kisah hidup beliau.
milis resonansi.
Suatu sore dipinggiran kampus, aku seperti biasa, makan nasi goreng
kesukaanku. Nasi goreng. Ya hanya nasi goreng yang biasa dijajakan melalui
gerobak dorong. Boleh di kata bahwa inilah nasi goreng kesukaannku,
selain enak juga murah. Sekian lama aku menjadi pelanggan, sedikit demi
sedikit muncul keberanianku untuk bertanya masalah yang cukup sensitif :
Masalah keluarga.
Pak Toyib (nama samaran), memang selalu mengganjal dalam fikiranku.
Karena ketika kami berinteraksi, tampak jelas dari isi pembicaraan, gaya
bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang tidak berpengalaman.
Usianya sekitar 68 tahun, meskipun rambut dan kumisnya telah memutih,
tetapi tatapan matanya sangatlah tajam, setajam tatapan mata para dosen di
kampusku. Terkadang aku kasihan melihatnya, karena tampak ia dengan
sangat terpaksa mendorong gerobak. Tubuhnya tidaklah kekar.
Waktu itu kebetulan tidak ada pembeli yang singgah, sehingga sambil
menikmati nasi goreng aku dapat mendengarkan kisah hidupnya. Seperti yang
telah beliau ceritakan, bahwa beliau memiliki lima orang anak. Dua
orang dari istri pertama, dan tiga orang dari istri kedua.
Dengan nafas sedikit tersengal dan tatapan matanya kosong, beliau
bercerita mengenai pertemuan dengan istri pertamanya. Beliau sangat tertarik
dengannya karena ia adalah wanita yang sangat baik dan taat pada agama,
meskipu wajahnya tidak cantik, toh beliau sangat bahagia. Sang istri
sangat memanjakan beliau dengan kasih sayang disamping bantuan ekonomi
karena ia juga bekerja sebagai guru SMP.
Prahara mulai datang ketika karier beliau meningkat. Perusahaan
menunjuk beliau sebagai pimpinan cabang. Keadaan ekonomi yang meningkat sangat
menentramkan hati keluarganya apalagi di keluarga baru lahir anak yang
kedua. Hati Pak Toyib merasa senang, ia sangat bersyukur pada Tuhan.
Tetapi, sore itu sepulang kantor, ia melihat sesosok wanita yang
kebingungan di lapangan banteng. Tampak jelas terlihat bahwa wanita tersebut
bukanlah penduduk Jakarta. Wajah wanita itu mengingatkan beliau pada
adiknya yang telah meninggal, sehingga pada akhirnya iapun menberikan jasa
dengan mengontrakkan sebuah rumah, sebelum si wanita mandiri.
Kesibukannya di kantor membuat beliau jarang berhubungan dengan sang
istri, sebaliknya kini beliau lebih sering bertemu dengan si wanita.
Witing tresno jalaran soko kulino , begitulah orang jawa biasa bilang:
Beliaupun akhirnya jatuh cinta pada si wanita.
Begitu mengetahui bahwa beliau memiliki WIL, sang istri menjadi sangat
frustasi. Hari-harinya berubah. Sang istri kerap singgah dari tempat
bilyard satu ke tempat bilyard yang lain. Anak pu menjadi tidak terurus.
Akhirnya keduanyapun sepakat untuk berpisah. Beliau tampak menitikkan
air mata.
Pak Toyib menikah dengan si wanita, sementara sang istri menjadi single
parent. Pada mulanya kehidupan belau cukup bahagia meskipun sang istri
tidaklah seperhatian istri pertama. Anak ketigapun lahir, semakin
bahagialah keluarga ini tetapi saat itu beliau sudah cukup berumur, sehingga
harus siap-siap pensiun. Selepas pensiun beliau sibuk mencari pekerjaan
lai untuk mensupport kebutuhan keluarga.
Sang istri yang tidak terbiasa hidup susah, tidak mau perduli dengan
perubahan ekonomi keluarga. Ia hanya pergi pada siang hari dan pulang
pada malam hari untuk kegiatan yang tidak jelas. Anakpun demikian, mereka
hanya menganggap beliau sebagai sapi perahan. Anak yang pertama
bercerai dengan istrinya karena meskipun pengangguran, ia punya kekasih yang
lain. Anak kedua tidak jelas nasibnya, sedangkan anak ketiga ingin masuk
perguruan tinggi favourite tapi kurang motivasi, sehingga sia-sialah
segala uang yang di keluarkan untuk biaya bimbingan belajar.
Seiring dengan menurunnya kondisi keuangan, maka beliaupun menjual
rumah di Jakarta dan memilih tinggal di daerah Depok. Tetapi, kondisi buruk
terus menimpanya, ia di pecat dari perusahaan. Beliau coba telpon semua
kolega, akan tetapi tidak ada satu orangpun yang dapat membantunya,
karena memang sekarangpun mereka telah memasuki masa pensiun.
"Ya, malu, sangat malu", Kata beliau.
Berbeda dengan kondisi beliau, kondisi mantan sang istri jauh lebih
baik. Selepas cerai, mantan sang istri mati-matian berjuang untuk
menghidupi anak-anaknya. Mantan sang istri tidak hanya berhenti bermain
bilyard, tetapi juga berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan pada
anak-anaknya. Sekarang sang istri tampak seperti seorang "pensiunan" yang bahagia,
karena kedua anaknya telah sukses. Bahkan sesekali kedua anaknya
mengirimkan uang untuk Pak Toyib. Kini beliau hanya bisa menatap dan meratap.
Ingin beliau memeluk dan mencium mantan sang istri sambil mengucapkan
seribu kata penyesalan, namun agaknya semuanya telah berlalu dan tidak
akan berulang. Di dunia ini sepertinya syurga bukanlah diperuntukkan
bagi beliau, kata beliau menyimpulkan kisah hidup beliau.
milis resonansi.
Langganan:
Postingan (Atom)