Sabtu, Desember 25, 2004

Oh Anak...

Oh Anak...

Satu per satu anakku, setelah menikah, pergi meninggalkanku. Sementara
aku,
sejak suamiku meninggal tiga bulan lalu, tetap tinggal di rumah besar
kami
di Tebet bersama dua orang perempuan yang sudah 22 tahun bekerja
padaku,
seorang sopir sekaligus tukang kebun, serta seorang keponakan suamiku
yang
kedua orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang.
Suamiku sudah menyiapkan rumah untuk anak-anak kami, yang disewakannya
kepada orang-orang. Setelah mereka menikah barulah ia memberikan kunci
rumah-rumah itu. Ia membelinya saat memiliki jabatan tinggi di sebuah
departemen dan memperoleh 'uang lain-lain' dari orang-orang yang
mengharapkan langkahnya tidak terhalang sebutir kerikilpun. Ia
melakukannya
karena ingin anak-anaknya mengenang dia sebagai ayah yang bertanggung
jawab.
Suamiku meninggal akibat gagal jantung setelah 12 tahun pensiun. Sehari
sebelumnya ia sempat berbicara kepadaku, telah merasa lengkap menjadi
ayah
karena melihat semua kejadian terhadap anak-anaknya: lahir, besar,
bersekolah, menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, bekerja,
menikah, tinggal di rumah-rumah yang diberikannya, dan memiliki anak.
Ia
dimakamkan di sebuah pemakaman luas sesuai yang pernah ia pesankan.
Hingga kini aku merasa ia masih ada di dalam rumah kami. Menjelang jam
tujuh pagi, lima sore, sembilan malam, aku masih selalu pergi ke dapur,
membuatkan secangkir teh manis untuknya. Anakku yang nomor satu rupanya
mendapat cerita ini dari keponakan suamiku yang tinggal bersamaku. Maka
tadi
sore ia datang dan meminta aku tinggal di rumah besarnya di Ciputat.
Berkali-kali aku menolak, tentu karena aku merasa kasihan pada mendiang
suamiku, tapi ia tetap berkeras seperti ayahnya. Ia mengatakan akan
lebih
mudah baginya untuk memantau dan mengurusku jika aku tinggal
bersamanya. "Di
kamar besar yang lain Mama bisa meletakkan semua buku milik Mama. Kalau
tetap di sini Mama akan terus bersedih. Biarlah rumah ini Suci yang
menjaga
dan mengurusnya bersama Mbak Tar, Mbak Mi dan Bang Ali." Akhirnya aku
menyetujui saja.
Malam hari aku sering menangis mengingat suamiku. Sementara
anak-anakku,
selama dua bulan aku di sini, tidak pernah ada yang datang. Dan anakku
yang
nomor satu jarang sekali bertemu denganku. Ia pergi pagi ketika aku
masih
mengaji di kamar, dan pulang begitu malam ketika aku sudah tertidur.
Dalam
seminggu mungkin aku hanya bertemu dengannya dua atau tiga kali. Bahkan
bisa
tidak sama sekali.
Aku sering mengingat masa ketika mereka kecil. Waktu itu setiap hari
aku
bisa bertemu mereka. Lalu ketika mereka masuk perguruan tinggi dan
bekerja,
aku pun mulai jarang bertemu. Lalu ketika mereka menikah dan tinggal di
rumah-rumah yang diberikan suamiku, memiliki anak dan sibuk dengan
istri
atau suaminya, aku sudah tidak banyak berharap mereka akan mudah
kutemui.
Sekarang apa yang aku dapat? Sebuah senyuman dan sapaan setiap pagi
hari
pun tidak. Terlebih kata terima kasih atas jerih-payahku melahirkan,
mendidik, membesarkan, dan menyenangkan mereka. Aku tidak bermaksud
meminta
balasan. Tetapi bagaimanapun menurutku mereka seharusnya tahu diri dan
tahu
berterimakasih. Padahal sejak mereka kecil aku dan suamiku selalu
mengajarkan untuk tidak melupakan
kebaikan seseorang.
Anakku yang nomor satu, hari ini memutuskan mengirimku ke sebuah panti
jompo, setelah istri dan ketiga anaknya sering mengeluhkan aku yang
selalu
menangis tengah malam ketika aku teringat suamiku, karena katanya
mengganggu
tidur mereka. Dua minggu lalu ia mengundang adik-adiknya datang. Ketika
semua berkumpul, kecuali anakku yang nomor empat yang tinggal di
Australia,
ia memberitahukan keinginannya. "Lagipula Mama tidak mungkin kita
biarkan
kembali ke Tebet. Terlalu banyak kenangan tentang Papa di sana yang
bisa
membuat Mama sedih." Dua bulan lagi umurku 68 tahun.
Setelah satu tahun aku di tinggal sini, hanya Lebaran lalu saja
anak-anakku
datang. Sementara si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku yang
pernah
delapan tahun tinggal bersamaku, hampir setiap akhir pekan menjengukku.
Hari itu semua anakku datang bersama suami, istri, dan anak-anak
mereka.
Hanya yang nomor empat tidak datang, karena katanya uang jutaan rupiah
untuk
membeli tiket pesawat bagi tiga orang ke Jakarta lebih baik disimpannya
di
bank. Ia hanya mengirim kartu Lebaran disertai tulisan dan tanda
tangannya.
Sedangkan cucu pertamaku memilih pergi ke rumah kekasihnya. Katanya
karena
ia segan. Ingat, segan. Segan bertemu neneknya. Padahal dahulu aku yang
sering membersihkan kotorannya dan mengganti popok bila ia datang ke
rumahku
bersama orangtuanya. Lalu hingga kini tidak pernah lagi mereka datang.
Hanya anakku yang nomor satu yang selalu mengirim ini dan itu kepadaku,
biasanya berupa buku-buku terbaru psikologi, filsafat, sejarah, sastra,
agama, sosial, seni, budaya, tentu saja, melalui sopirnya.
Setiap pukul 04.30 aku bangun, mandi dengan air hangat yang keluar dari
pancuran di bath-tub, sholat subuh, dan mengaji. Di sini kami seperti
di
rumah sendiri. Bangun jam berapa saja kami berkeinginan. Sarapan dan
makan
pun bebas memilih. Anak-anak telah membayar sangat tinggi untuk
menitipkanku
di sini. Aku jadi teringat masa ketika indekos ketika aku belajar
psikologi.
Hanya kini aku tidak tinggal bersama gadis-gadis cantik dan tidak untuk
menuntut ilmu apa-apa. Hanya menunggu ajal.
Tepat pukul 06.00 kami yang sudah bangun dianjurkan berkumpul di
halaman
depan untuk berolahraga. Cukup tiga puluh menit sekadar untuk
meregangkan
otot-otot tua kami. Setelah itu kami diminta untuk membersihkan diri,
mandi
pagi lagi kalau mau. Pukul 08.00 biasanya kami akan berkumpul di ruang
makan
untuk sarapan. Mereka yang bangun terlambat dan tidak ingin berolahraga
dan
tidak ingin sarapan di ruang makan, bisa meminta petugas mengantarkan
sarapannya ke kamar.
Setelah itu hingga pukul 16.00 kami dipersilakan melakukan kegiatan apa
saja sesuai keinginan: merajut, melukis, menulis surat untuk anak-anak
kami,
bermain catur, berkebun, membaca, menonton TV, mendengar radio,
berbincang-bincang dengan teman-teman lain, atau tidur siang. Dan
setiap
pukul 16.30 kami biasanya akan duduk-duduk di teras panti sambil
menikmati
secangkir teh manis dan kue-kue kecil.
Setelah itu kami diminta untuk mandi sore. Pukul 19.00 kami kembali
berkumpul di ruang makan. Malam ini aku menikmati segelas air teh manis
hangat, nasi putih, perkedel kentang, dan semur ikan bandeng dengan
kuah
kental kesukaanku. Hari ini tepat tiga tahun aku masuk panti.
Aku, karena sejak muda mempunyai kegemaran membaca, setiap hari selalu
hanya membaca. Apa saja aku baca. Majalah berita, koran pagi, tabloid
perempuan, dan majalah perempuan yang dilanggani panti, tidak pernah
kulewatkan, juga buku-buku di perpustakaan. Selama lima tahun di sini,
aku
sudah membaca semua buku yang ada di sana, dan tentu saja puluhan
lainnya
kiriman anakku yang nomor satu.
Hari ini aku membaca sebuah buku filsafat. Sudah dua hari aku
membacanya,
dan tampaknya hari ini pun belum akan selesai. Padahal ketika muda
dahulu
satu buku tebal kubaca hanya dalam waktu satu hari, dan buku sedang
cukup
setengah hari saja. Setelah tua aku menjadi mudah letih dan mengantuk.
Kemarin aku sulit sekali meneruskan buku itu. Aku tiba-tiba saja
kembali
memikirkan suamiku dan juga umurku yang sudah semakin tua. Aku tahu aku
tidak akan lama lagi di sini.
Teman-teman sebayaku semasa di perguruan tinggi, sudah banyak yang
tiada.
Dulu aku memiliki ratusan buku yang kubeli sejak umurku belasan tahun.
Sebelum tinggal di sini, aku ingat jumlahnya sekitar 524 buah.
Tersimpan
rapi di perpustakaan pribadi di rumahku. Aku percaya anakku yang nomor
tujuh
akan menjaga buku-buku itu. Kebetulan ia mempunyai kegemaran yang sama
denganku, meski sebenarnya keenam anakku yang lain, serta suamiku, juga
memiliki kegemaran yang sama. Hanya saja karena ia yang paling banyak
menghabiskan waktu bersamaku maka aku percaya ia akan menjaganya.
Ketika
masih tinggal bersamaku hampir setiap awal bulan ia menemaniku pergi ke
toko
buku, membeli buku-buku kegemaranku. Kebetulan aku paling menyukai buku
psikologi, karena ilmu itulah yang mampu membuatku tertarik masuk ke
sebuah
fakultas hingga menyelesaikannya.
Tetapi sudah sepuluh tahun ini aku tidak melakukannya. Meski
berkeinginan,
namun semuanya kini hanya ada di dalam angan-angan dan
kenangan-kenanganku.
Untunglah anakku yang nomor satu selalu mengirimkan buku-buku
kegemaranku
terbaru. Jadi aku tidak terlalu mengharapkan buku-buku di perpustakaan
panti
yang hanya beberapa puluh saja. Ketika minggu kedua tinggal di sini
pernah
kutanyakan kepada petugas, mereka hanya menjawab, "Uang panti tidak
cukup,
Nyonya."
"Bukankah anak-anak kami sudah membayar sangat tinggi untuk menitipkan
kami
di sini? Jadi bagaimana mungkin tidak cukup?"
"Saya hanya petugas, Nyonya. Urusan uang ketua yayasan yang mengatur.
Lagipula Bapak pernah mengatakan orang-orang tua di sini tidak terlalu
suka
membaca."
"Begitu? Bagaimana dia tahu?"
"Bapak memang jarang datang ke sini, Nyonya. Maklumlah usaha Bapak
tidak
hanya panti ini."
"Saya punya banyak buku di rumah. Boleh saya menyumbangkannya?"
"Dengan senang hati, Nyonya. Dengan senang hati."
Tetapi ternyata anakku yang nomor tujuh tidak memperbolehkannya. Di
telepon
ia mengatakan buku-buku itu terlalu berharga karena ada yang sudah
berumur
puluhan tahun dan sudah tidak beredar di pasaran. Ketika kukatakan
buku-buku
itu akan lebih berharga jika dibaca orang lain, ia tetap tidak
memperbolehkannya. Katanya karena ia membaca pula buku-buku itu.
"Lagipula
anggaplah sebagai warisan yang Mama berikan untukku." Anak-anakku,
mereka
tidak pernah puas hanya menerima.
Dua hari lalu umurku 79 tahun. Aku tahu tidak akan lama lagi di sini.
Hingga malam, ketujuh anakku tidak ada satu pun datang atau sekedar
menelepon. Hanya datang si Tar, si Mi, si Ali, serta keponakan suamiku
yang
pernah delapan tahun tinggal bersamaku.
Baru hari ini anakku yang nomor satu mengirim kado berisi selimut tebal
dan
kartu ucapan buatan pabrik. Kado itu diantar seorang sopirnya.
Ingat, sopir. Dia tidak bisa datang, kata sopirnya, karena sibuk
bekerja.
Ingat, sibuk. Sekali lagi ingat, sibuk. Padahal dahulu ketika masih
tinggal
bersamaku, aku selalu menyiapkan masakan istimewa buatanku di hari
ulang
tahun mereka dan merayakannya bersama-sama.
Bila tahu akan seperti ini, demi Tuhan, aku tidak bersedia melahirkan
mereka. Dan aku tahu, suamiku, pasti menyesal telah menghidupi mereka.
Ya!
[kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggal galah... kasih ibu
sepanjang masa, kasih anak sepenggal masa...]
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

milis resonansi@yahoogroups.com

1 komentar:

Muliadi Palesangi mengatakan...

masukan cess! kalo nulis ato upload ke blogspot--jangan panjang2 atuch tulisan-nya! Ok. Thank's u..!