Rabu, Desember 22, 2004

Wanita, Istri dan Mantan Istri

Wanita, Istri dan Mantan Istri

Suatu sore dipinggiran kampus, aku seperti biasa, makan nasi goreng
kesukaanku. Nasi goreng. Ya hanya nasi goreng yang biasa dijajakan melalui
gerobak dorong. Boleh di kata bahwa inilah nasi goreng kesukaannku,
selain enak juga murah. Sekian lama aku menjadi pelanggan, sedikit demi
sedikit muncul keberanianku untuk bertanya masalah yang cukup sensitif :
Masalah keluarga.

Pak Toyib (nama samaran), memang selalu mengganjal dalam fikiranku.
Karena ketika kami berinteraksi, tampak jelas dari isi pembicaraan, gaya
bahasa yang digunakan bukanlah bahasa orang yang tidak berpengalaman.
Usianya sekitar 68 tahun, meskipun rambut dan kumisnya telah memutih,
tetapi tatapan matanya sangatlah tajam, setajam tatapan mata para dosen di
kampusku. Terkadang aku kasihan melihatnya, karena tampak ia dengan
sangat terpaksa mendorong gerobak. Tubuhnya tidaklah kekar.

Waktu itu kebetulan tidak ada pembeli yang singgah, sehingga sambil
menikmati nasi goreng aku dapat mendengarkan kisah hidupnya. Seperti yang
telah beliau ceritakan, bahwa beliau memiliki lima orang anak. Dua
orang dari istri pertama, dan tiga orang dari istri kedua.

Dengan nafas sedikit tersengal dan tatapan matanya kosong, beliau
bercerita mengenai pertemuan dengan istri pertamanya. Beliau sangat tertarik
dengannya karena ia adalah wanita yang sangat baik dan taat pada agama,
meskipu wajahnya tidak cantik, toh beliau sangat bahagia. Sang istri
sangat memanjakan beliau dengan kasih sayang disamping bantuan ekonomi
karena ia juga bekerja sebagai guru SMP.

Prahara mulai datang ketika karier beliau meningkat. Perusahaan
menunjuk beliau sebagai pimpinan cabang. Keadaan ekonomi yang meningkat sangat
menentramkan hati keluarganya apalagi di keluarga baru lahir anak yang
kedua. Hati Pak Toyib merasa senang, ia sangat bersyukur pada Tuhan.
Tetapi, sore itu sepulang kantor, ia melihat sesosok wanita yang
kebingungan di lapangan banteng. Tampak jelas terlihat bahwa wanita tersebut
bukanlah penduduk Jakarta. Wajah wanita itu mengingatkan beliau pada
adiknya yang telah meninggal, sehingga pada akhirnya iapun menberikan jasa
dengan mengontrakkan sebuah rumah, sebelum si wanita mandiri.

Kesibukannya di kantor membuat beliau jarang berhubungan dengan sang
istri, sebaliknya kini beliau lebih sering bertemu dengan si wanita.
Witing tresno jalaran soko kulino , begitulah orang jawa biasa bilang:
Beliaupun akhirnya jatuh cinta pada si wanita.

Begitu mengetahui bahwa beliau memiliki WIL, sang istri menjadi sangat
frustasi. Hari-harinya berubah. Sang istri kerap singgah dari tempat
bilyard satu ke tempat bilyard yang lain. Anak pu menjadi tidak terurus.
Akhirnya keduanyapun sepakat untuk berpisah. Beliau tampak menitikkan
air mata.
Pak Toyib menikah dengan si wanita, sementara sang istri menjadi single
parent. Pada mulanya kehidupan belau cukup bahagia meskipun sang istri
tidaklah seperhatian istri pertama. Anak ketigapun lahir, semakin
bahagialah keluarga ini tetapi saat itu beliau sudah cukup berumur, sehingga
harus siap-siap pensiun. Selepas pensiun beliau sibuk mencari pekerjaan
lai untuk mensupport kebutuhan keluarga.

Sang istri yang tidak terbiasa hidup susah, tidak mau perduli dengan
perubahan ekonomi keluarga. Ia hanya pergi pada siang hari dan pulang
pada malam hari untuk kegiatan yang tidak jelas. Anakpun demikian, mereka
hanya menganggap beliau sebagai sapi perahan. Anak yang pertama
bercerai dengan istrinya karena meskipun pengangguran, ia punya kekasih yang
lain. Anak kedua tidak jelas nasibnya, sedangkan anak ketiga ingin masuk
perguruan tinggi favourite tapi kurang motivasi, sehingga sia-sialah
segala uang yang di keluarkan untuk biaya bimbingan belajar.

Seiring dengan menurunnya kondisi keuangan, maka beliaupun menjual
rumah di Jakarta dan memilih tinggal di daerah Depok. Tetapi, kondisi buruk
terus menimpanya, ia di pecat dari perusahaan. Beliau coba telpon semua
kolega, akan tetapi tidak ada satu orangpun yang dapat membantunya,
karena memang sekarangpun mereka telah memasuki masa pensiun.
"Ya, malu, sangat malu", Kata beliau.

Berbeda dengan kondisi beliau, kondisi mantan sang istri jauh lebih
baik. Selepas cerai, mantan sang istri mati-matian berjuang untuk
menghidupi anak-anaknya. Mantan sang istri tidak hanya berhenti bermain
bilyard, tetapi juga berusaha menanamkan nilai-nilai kebaikan pada
anak-anaknya. Sekarang sang istri tampak seperti seorang "pensiunan" yang bahagia,
karena kedua anaknya telah sukses. Bahkan sesekali kedua anaknya
mengirimkan uang untuk Pak Toyib. Kini beliau hanya bisa menatap dan meratap.
Ingin beliau memeluk dan mencium mantan sang istri sambil mengucapkan
seribu kata penyesalan, namun agaknya semuanya telah berlalu dan tidak
akan berulang. Di dunia ini sepertinya syurga bukanlah diperuntukkan
bagi beliau, kata beliau menyimpulkan kisah hidup beliau.

milis resonansi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

enak jg dibaca, klo kita yg berada di posisi mantan istri beliau rasa2nya sprti benar2 hancur di duakan dan ditinggalkan, sehingga ketika beliau bangkit rasanya ikut bahagia. just comment ... trims buat artikelnya :)