Suatu malam di Amsterdam. Angin musim panas menyapu lembut wajah
saya. Malam itu Ronie mengajak bercengkerama di kawasan lampu merah Zeedijk.
"Kijk" ujar Ronie seraya menunjuk ke jendela rumah bertingkat.
Seorang perempuan muda berbusana mencolok duduk di depan jendela dengan gorden
dan lampu merah temaram. "Senyumnya menggoda ya?" lanjut Belanda Indo
anak bekas Administrateur Pabrik Gula Padokan, Yogykarta itu. "Zij
is ... weet je? Tapi, yang sana itu lain, Hans," lanjut Ronie seraya
sedikit menengadah menatap wanita setengah baya yang sedang merenda.
"Lain?" tanya saya. Teman saya itu tertawa. "Ia wanita
baik-baik. Yang membedakan, lampunya yang lebih terang," jelasnya lancar.
Saya
teringat kalimat di sebuah buku tentang Amsterdam. Amsterdam`s ladies of the
night are "private entrepreneurs", each sitting in the front window
of her own little flat. Para wirausahawati Amsterdam itu menjajakan jasa di
dua sentra: Zeedijk dan Wallatjes, atau "Tembok-tembok Kecil" -- nama
yang berasal dari dua kanal: Oudezijds Voorburgwal dan Oudezijds Achterburgwal.
Para
private entrepreneur Amsterdam bisa dibilang menikmati status sosial
yang tak membuat kaum lelaki malu mencari angin, bahkan ber-short stay
di kawasan operasi mereka. Orang Belanda menganggap mampir ke pelacuran sebagai
bentuk normal relaksasi.
"Begitu,
Ron?" tanya saya yang dijawab dengan kerlingan mata penuh arti.
"Semacam gezeligheid, Hans," lanjutnya. "Kiya-kiya
atau istilahmu mat-matan," tuturnya. "Ah, mat-matan saya
kan menikmati suara emas Nyi Tjondrolukito seraya nyruput teh
panas-manis-kental ramuan Pak Rebo Bugisan," saya mencoba mengajak Ronie
ke goede tijd awal 1950-an. "Atau, mengobrol dalam bahasa Jawa di
depan Hotel The Americain," sambung Ronie.
Kesibukan
dan kerja rutin beberapa tahun terakhir, menyebabkan saya putus hubungan dengan
Ronie. Ketika membaca tulisan Kantor Berita DPA seputar profesi di kawasan
lampu merah Belanda, saya tiba-tiba teringat lelaki sepantaran saya itu. Jajak
pendapat yang baru-baru ini diselenggarakan di Belanda mengungkapkan, 55% dari
2.600 responden pria dewasa menganggap kunjungan ke bordil sangat dapat
diterima. Selain itu, 80% responden menganggap prostitusi sebagaimana pekerjaan
profesi lain, selama tanpa paksaan.
Hasil
jajak pendapat yang dianggap suara rakyat itu, mendorong parlemen Belanda
mencabut larangan beroperasinya rumah-rumah pelacuran, dan mengesahkan
peraturan penggantinya. Dibutuhkan waktu 25 tahun untuk mencabut larangan aneh
itu. Peraturan baru menetapkan, antara lain, pekerja seks harus berumur minimal
18 tahun. Pemilik bordil diancam hukuman penjara 6 tahun, bila mempekerjakan
pekerja seks di bawah umur. Begitu juga, konsumen yang melangganinya.
Para
mucikari kini kekurangan stok barang dagangan. Mereka lalu menyebar sejumlah
pemandu bakat ke Spanyol dan Skandinavia, mengimpor calon wirausahawati. Para heart
hunter yang mengunjungi negara-negara Skandinavia kecewa berat, karena
sebagian besar cewek yang mereka temui ternyata hanya penjaja jalanan, dan
pecandu obat. Mereka juga kaget mendengar harga yang diminta gadis-gadis
Denmark. "Sudah tidak kinyis-kinyis, malah pasang harga 120 guilder
(sekitar US$ 70). Kelewat mahal buat orang Belanda," keluh sang perekrut
seraya mengisyaratkan, sifat kelewat hemat orang Belanda tetap berlaku dalam
transaksi esek-esek ini.
Oleh
Supiyo
Majalah SWA