Rabu, Januari 23, 2013

Private Entrepreneur



Suatu malam di Amsterdam. Angin musim panas menyapu lembut wajah saya. Malam itu Ronie mengajak bercengkerama di kawasan lampu merah Zeedijk. "Kijk" ujar Ronie seraya menunjuk ke jendela rumah bertingkat. Seorang perempuan muda berbusana mencolok duduk di depan jendela dengan gorden dan lampu merah temaram. "Senyumnya menggoda ya?" lanjut Belanda Indo anak bekas Administrateur Pabrik Gula Padokan, Yogykarta itu. "Zij is ... weet je? Tapi, yang sana itu lain, Hans," lanjut Ronie seraya sedikit menengadah menatap wanita setengah baya yang sedang merenda. "Lain?" tanya saya. Teman saya itu tertawa. "Ia wanita baik-baik. Yang membedakan, lampunya yang lebih terang," jelasnya lancar.

Saya teringat kalimat di sebuah buku tentang Amsterdam. Amsterdam`s ladies of the night are "private entrepreneurs", each sitting in the front window of her own little flat. Para wirausahawati Amsterdam itu menjajakan jasa di dua sentra: Zeedijk dan Wallatjes, atau "Tembok-tembok Kecil" -- nama yang berasal dari dua kanal: Oudezijds Voorburgwal dan Oudezijds Achterburgwal.

Para private entrepreneur Amsterdam bisa dibilang menikmati status sosial yang tak membuat kaum lelaki malu mencari angin, bahkan ber-short stay di kawasan operasi mereka. Orang Belanda menganggap mampir ke pelacuran sebagai bentuk normal relaksasi.

"Begitu, Ron?" tanya saya yang dijawab dengan kerlingan mata penuh arti. "Semacam gezeligheid, Hans," lanjutnya. "Kiya-kiya atau istilahmu mat-matan," tuturnya. "Ah, mat-matan saya kan menikmati suara emas Nyi Tjondrolukito seraya nyruput teh panas-manis-kental ramuan Pak Rebo Bugisan," saya mencoba mengajak Ronie ke goede tijd awal 1950-an. "Atau, mengobrol dalam bahasa Jawa di depan Hotel The Americain," sambung Ronie.

Kesibukan dan kerja rutin beberapa tahun terakhir, menyebabkan saya putus hubungan dengan Ronie. Ketika membaca tulisan Kantor Berita DPA seputar profesi di kawasan lampu merah Belanda, saya tiba-tiba teringat lelaki sepantaran saya itu. Jajak pendapat yang baru-baru ini diselenggarakan di Belanda mengungkapkan, 55% dari 2.600 responden pria dewasa menganggap kunjungan ke bordil sangat dapat diterima. Selain itu, 80% responden menganggap prostitusi sebagaimana pekerjaan profesi lain, selama tanpa paksaan.

Hasil jajak pendapat yang dianggap suara rakyat itu, mendorong parlemen Belanda mencabut larangan beroperasinya rumah-rumah pelacuran, dan mengesahkan peraturan penggantinya. Dibutuhkan waktu 25 tahun untuk mencabut larangan aneh itu. Peraturan baru menetapkan, antara lain, pekerja seks harus berumur minimal 18 tahun. Pemilik bordil diancam hukuman penjara 6 tahun, bila mempekerjakan pekerja seks di bawah umur. Begitu juga, konsumen yang melangganinya.

Para mucikari kini kekurangan stok barang dagangan. Mereka lalu menyebar sejumlah pemandu bakat ke Spanyol dan Skandinavia, mengimpor calon wirausahawati. Para heart hunter yang mengunjungi negara-negara Skandinavia kecewa berat, karena sebagian besar cewek yang mereka temui ternyata hanya penjaja jalanan, dan pecandu obat. Mereka juga kaget mendengar harga yang diminta gadis-gadis Denmark. "Sudah tidak kinyis-kinyis, malah pasang harga 120 guilder (sekitar US$ 70). Kelewat mahal buat orang Belanda," keluh sang perekrut seraya mengisyaratkan, sifat kelewat hemat orang Belanda tetap berlaku dalam transaksi esek-esek ini.

Oleh
Supiyo
Majalah SWA

Minggu, Januari 20, 2013

Hantu hantu Manajemen



Di sebuah perusahaan Jepang yang mengundang saya sebagai nara sumber, seorang eksekutif puncaknya sempat berargumen lama tentang sinyalemen yang saya sebut dengan berfikir ala kaca spion. Berjalan ke depan namun senantiasa melihat ke belakang.
Saya bisa memaklumi, kalau banyak rekan dari Jepang yang tidak setuju dengan hal terakhir. Secara lebih khusus, karena mereka sudah memiliki tradisi yang lama dan panjang tentang kegemaran mengutak-atik data yang telah lewat. Jangankan mengambil keputusan, bermain golf saja mereka disertai dengan data-data score cards masa lalu. Dalam bingkai berfikir ala kaca spion ini, satu-satunya cara untuk bisa hidup di hari ini, dan selamat di hari esok adalah dengan jalan mempelajari apa yang sudah lewat.

Ini semua mengingatkan saya, pada keyakinan-keyakinan yang ditanamkan secara berlebihan oleh kaum empiris dalam ilmu pengetahuan. Manajemen, melalui sejumlah tokohnya seperti Taylor yang menciptakan scientific management, juga terkena sindroma kaca spion. Kelompok Aston yang menjadi salah satu cikal bakal pendekatatan kontingensi - yang memiliki banyak sekali penganut sampai sekarang dalam dunia manajemen - juga membangun argumennya di atas kaca spion. Diktum 'structure follows strategy' yang pernah dikemukakan seorang guru besar Harvard, serta memiliki penganut sampai sekarang, juga dibangun di atas tumpukan data masa lalu yang mengagumkan. Administrative Science Quarterly- sebuah jurnal manajemen berpengaruh yang diterbitkan MIT, dan penulisnya kebanyakan bergelar Ph.D sangat kuat diwarnai oleh penelitian-penelitian empiris yang amat mereka banggakan.

Nah, sekarang saya ingin membawa persoalan ini ke dalam pengandaian makan roti. Semua orang saya yakin - termasuk Taylor, kelompok Aston, Alfred Chandler serta pananggung jawab Administrative Science Quarterly - lebih menyukai roti yang fresh from the oven. Tidak ada yang mau memakan roti busuk hasil simpanan bertahun-tahun lalu.

Mirip dengan makan roti, manajemen yang lahir dari kumpulan data masa lalu, tidak membuat kepala manusia menjadi fresh. Tidak tertutup kemungkinan, malah membuat kepala kita menjadi roti busuk yang tidak berguna. Ini bisa terjadi - sebagaimana sudah sering saya tulis - karena semakin sedikit sejarah yang muncul dalam bentuk pengulangan. Sebagaimana sebuah pepatah Cina : 'we can not step into the same river twice'. Sebab, sebagaimana sungai, kehidupan setiap detik berganti.

Sayang seribu sayang, di manapun orang belajar manajemen secara formal, senantiasa dihadapkan pada ribuan kaca spion. Ada kaca spionnya Drucker, Porter, Kotler, Ohmae, Mintzberg dan ribuan kaca spion sejenis. Bila kaca spion ini dibuat di tahun 1990-an masih mending. Tidak sedikit yang lapuk karena ditulis di tahu 50-an.
Tidak heran kalau Robert M.Pirsig - penulis novel Zen and The Art of Motorcycle Maintenance yang disebut Time sebagai unforgetable trip - pernah menulis : 'Isaac Newton ia a very good ghost. One of the best. Your common sense is nothing more than the voices of thousands and thousands of these ghost from the past'.

Dengan demikian, tidak hanya manajemen yang dirasuki 'hantu' masa lalu. Semua sendi-sendi ilmu pengetahuan - meminjam argumen Pirsig - juga dirasuki oleh 'hantu-hantu' terakhir.

Anda tentu saja bertanya, kalau demikian kemana kita harus menoleh ? Terus terang, saya memang bukan pemegang bola kristal yang langsung bisa menunjuk sebuah jurus atau kiat. Di kolom ini, tugas saya lebih dekat dengan upaya menggoyahkan apa yang telah mapan dan membelenggu. Untuk kemudian, kembali ke dunia pengamatan yang segar dan jernih.
Memang, ada banyak cara untuk sampai ke tataran fresh mind. Namun, sangat penting untuk membersihkan fikiran dari 'kotoran-kotoran' masa lalu. Saya memilih untuk menantang dan mempertanyakan semua otoritas masa lalu - termasuk otoritas yang saya pernah buat sendiri.
Seorang peserta seminar dalam topik Crazy Times Call For Crazy People, pernah bertanya ke saya tentang skenario ke depan. Jawaban warasnya, siap-siaplah kita berhadapan dengan perekonomian yang dibangun di atas perusahaan-perusahaan skala menengah. Jawaban 'gila'-nya - dan ini yang lebih saya rekomendasikan - berfikirlah keluar dari segala bentuk skenario. Dalam dunia fresh mind, tidak diperlukan skenario. Apa lagi skenario 'jika-maka'. Yang ada hanyalah melihat tanpa mengkerangkakan. Mengutip sebuah pepatah Zen, sebesar apapun telunjuk yang digunakan untuk menunjuk bulan, tetap tidak akan bisa mewakili wajah bulan yang sebenarnya. Demikian juga dengan skenario.

Meminjam argumen guru meditasi saya di Inggris sana : 'jumping into the unknown, dying from all the pasts and future ideals, live the present just as they are'.

Jadi, diperlukan keberanian untuk melompat ke wilayah fikiran yang tidak diketahui. Mati dari masa lalu dan idealitas masa depan. Serta hidup di masa kini sebagaimana adanya.

Kembali ke pangandaian semula tentang makan roti, inilah yang saya sebut dengan roti manajemen yang fresh from the oven. Bukan roti majajemen busuk yang sudah lama membuat kita terkejut, terkaget dan hidup asing dari masa kini yang senantiasa segar.

Ah, ini hanyalah sekumpulan fikiran yang kerap disebut utopis oleh sejumlah orang - terutama kaum empiris. Mereka yang membenci ketidakjelasan ini, bahkan menyebut saya makar dan provokator. Namun, dibandingkan dimakari dan diprovokator oleh kecenderungan, saya lebih memilih untuk memprovokator dan memakari fikiran-fikiran saya sendiri.

Konosuke Matsushita, Thomas J. Watson, Bill Gates, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, Lady Diana, Ibu Theresa, Cory Aquino, Winston Churchill adalah sebagian kecil dari deretan manusia yang menjadi provokator dan tukang makar bagi fikiran-fikirannya sendiri.

Anda juga saya harapkan bisa menjadi provokator dan tukang makar tidak hanya bagi fikiran Anda, tetapi juga bagi fikiran gombal yang menjadi fundamen tulisan ini. Tanpa itu, kita hanya mengulangi sejarah manajemen yang berjalan sudah amat lama dan panjang : memakan roti busuk.

Oleh
Gede Prama