Tersebutlah 3 orang tukang batu yang bekerja berdampingan membangun sebuah dinding yang sama. Ketika salah satunya ditanya tentang apa yang sedang dia kerjakan, si tukang batu menjawab, sedang membangun dinding. Yang kedua menjawab, sedang membangun rumah (house). Sementara yang terakhir menyatakan bahwa dia sedang membangun sebuah tempat tinggal (home) agar keluarga muda yang akan menempatinya dapat hidup dengan nyaman dan penuh kebahagiaan.
Jika dilihat dengan kasat mata, tampak bahwa ketiga tukang batu itu sedang mengerjakan pekerjaan yang sama: menata dan melekatkan bata demi bata dengan semen. Tapi, jika kita lihat dari cara mereka memberi makna terhadap apa yang mereka kerjakan, kita akan melihat betapa berbedanya makna yang mereka berikan kepada pekerjaan mereka. Yang pertama tak melihat pekerjaannya kecuali semata-mata sebagai gerakan fisik, yang bisa juga dikerjakan oleh hewan atau robot. Yang kedua sudah menyadarinya sebagai sebuah pekerjaan kreatif. Tapi, makna maksimum telah diberikan oleh tukang batu ketiga ketika dia melihat pekerjaannya sebagai wujud kecintaannya kepada orang lain, yakni dalam bentuk keinginan memberikan tempat tinggal yang nyaman dan membahagiakan bagi calon penghuninya.
Maka kita pun dengan mudah dapat meramalkan, manakah di antara ketiga tukang batu itu yang akan melahirkan performa yang maksimum, baik secara kuantitaif maupun kualitatif?
Tak akan ada yang membantah bahwa hidup di dunia terkait dengan kesejahteraan fisik dan materi, karena memang Tuhan telah merancang manusia sedemikian dengan balutan fisik sedemikian, sehingga dia hanya bisasurvive dengan mengoperasikan aspek fisiknya itu. Tapi, tak sulit juga untuk sepakat bahwa pada puncaknya kebahagiaan bersifat ruhani. Kebahagiaan memang bukan sekadar kenikmatan fisik, melainkan ketenteraman dan kepuasan hati. Karena itu, secara logis bisa dikatakan bahwa kebahagiaan tak mungkin bisa diraih dengan berhenti pada memuasi kebutuhan fisik kita. Mengapa? Karena, lebih banyak kebutuhan ruhani kita yang tak ada hubungannya sama sekali dengan kebutuhan fisik kita. Bahkan, lebih sering kebutuhan ruhani atau hati kitatak selalu sejalan dengan kebutuhan fisik, malah tak jarang bertentangan. Misal, kebutuhan mencinta. Dalam hal seperti ini, kita justru mendapatkan kebahagiaan (ruhani) dengan memberi kepada orang-orang yang kita cintai, bukan justru menuntut dan mengambil darinya demi kepuasan egoistik kita. Kalau pun ada kaitannya, makanan bagi ruhani atau hati kita adalah makna yang bisa kita saring dari keterpenuhan kebutuhan fisik kita, dan bukan kebutuhan fisik itu sendiri. Memang, baik terkait dengan kebutuhan fisik maupun kebutuhan ruhani, kebahagiaan hidup manusia berkait dengan produksi makna dalam hidupnya, yakni yang positif atau sejalan dengan kebutuhan ruhaninya.
Sebagai suatu ilustrasi, kebutuhan fisik kita menuntut kesuksesan. Yakni keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan kita akan kekayaan, popularitas, atau kekuasaan. Tapi, betapa berlimpah contoh yang di dalamnya seseorang justru mengalami kesengsaraan ketika mendapatkan semuanya itu? Penyebabnya tentu saja ketakmampuan unsur-unsur kesuksesan hidup itu untuk dapat menyuplai makna (yang positif) yang merupakan kebutuhan ruhani kita. Maka, betapa banyak contoh orang-orang yang tampak telah memenuhi berbagai kebutuhan kesuksesan ini tapi hidupnya justru berakhir dengan depresi, bahkan bunuh diri?
Dengan demikian, mudah kita simpulkan bahwa kebahagiaan kita terletak dalam keberhasilan kita mendapatkan sebanyak mungkin makna positif dari hidup dan kehidupan kita, dari apa saja yang kita kerjakan. Defisit makna hidup, sebaliknya, merupakan sumber kesengsaraan. Tak terkecuali dalam dunia kerja. Kerja, pada puncaknya, harus menjadi sumber makna hidup. Lebih dari itu, pekerjaan yang bermakna akan juga melahirkan kecintaan serta semangat (passion) kepada apa saja yang kita kerjakan. Ini saja sudah merupakan suatu sumber kebahagiaan kita. Pada gilirannya, bekerja dengan landasan cinta akan mendorong kita untuk menumpahkan seluruh daya upaya kita, sehingga apa pun yang kita lahirkan dari kerja kita akan melahirkan karya-karya berkualitas. Pada puncaknya, kerja yang penuh makna seperti ini, bukan saja akan menjadi sumber kebahagiaan hidup secara ruhaniah, melainkan juga akan menjadi sumber kesuksesan duniawi.
Pertanyaannya kemudian, kerja seperti apa yang bisa menjadi sumber makna hidup positif? Al-Qur’an mengajarkan:
“Dan tuntutlah (kebahagiaan) hidup akhirat dalam apa-apa yang dikaruniakan Allah kepadamu. Tapi jangan juga lupakan bagianmu dari dunia.”
Melalui ayat ini, secara eksplisit dan implisit Allah memerintahkan agar kita bekerja sebaik-baiknya untuk mengumpulkan karunianya, tapi hendaknya itu semua diarahkan tidak hanya untuk dunia, melainkan untuk akhirat. Artinya, beri surplus makna pada kegiatan bekerja kita. Selain untuk mengambil jatah-adil kita dari kehidupan dunia, kita arahkan semua kesibukan itu untuk akhirat. Dan, pada saat berupaya memenuhi kebutuhan ukhrawi itu, sesungguhnya kita sekaligus sedang berusaha memenuhi kebutuhan ruhani kita –yang, pada saat yang sama, adalah sumber kebahagiaan sejati kita dalam kehidupan di dunia ini.
Allah lebih lanjut mengajarkan tentang bagaimana sebaiknya kita melihat kegiatan bekerja atau berbisnis:
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca kitab Allah, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian dari yang telah Kami rezekikan kepada mereka, baik secara sembunyi atau terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (tijarah lan tabur).”
Dari ayat ini, kita bisa merasakan bahwa Allah hendak mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita memberi makna pada kegiatan bisnis dan bekerja. Betapa pun fungsi berdagang dan bekerja adalah untuk mencari harta, tapi semuanya itu hanya akan bermakna (meaningful) jika didasarkan pada pengenalan yang benar akan hakikat hidup, dibubuhi warna pengembangan dan pemeliharaan hubungan spiritual kita dengan Tuhan, dan semangat filantropisme.
Pada analisis lebih lanjut, inilah kiranya yang dituju oleh kelanjutan ayat tersebut :
“ ... yakni, perdagangan yang akan) menyempurnakan bagi mereka pahala mereka dan menambah bagi mereka karunia (fadhl)-Nya. ” (QS 35: 29)
Fadhl dalam peristilahan Al-Qur’an berarti kejayaan, kekuasaan, kepandaian, dan kemakmuran duniawi, sebagaimana tampak jelas dalam konteks kehidupan Nabi Sulaiman yang menyebut dirinya sebagai telah mendapat “karunia Tuhanku”. Pada, saat yang sama, tentu kesemuanya itu memiliki makna spiritual, terkait dengan misi kenabian Sulaiman.
Ditempat yang lain, Allah memfirmankan:
“Wahai orang yang beriman,maukah kutunjukkan kalian pada satu perdagangan yang dapat menyelamatkan kalian dari kesengsaraan yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu …maka Allah akan mengampuni dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga…Itulah keuntungan (fawz) yang besar.”
Di sini Allah menunjukkan kepada kita makna sejati kegiatan bekerja dan berbisnis, yakni memperoleh keuntungan atau kesuksesan yang besar dan, pada puncaknya, kebebasan dari kesengsaraan. Yakni, dengan cara menjadikan keridhaan Tuhan sebagai tujuan kita, melalui bekerjakeras dan bersungguh-sungguh dalm beramal shalih dengan harta dan jiwa kita di jalan-Nya. Dengan kata lain, dalam rangka menunaikan fungsi kekhalifahan kita untuk menebarkan rahmat bagi sarwa alam semesta. Ya, hanya dengan cara mengaitkan seluruh aktivitas kita dengan Tuhan, maka kegiatan bekerja akan benar-benar menjadi sumber makna positif bagi hati atau ruhani kita. Dan hanya dengan begini bekerja akan dapat menjadi sumber kebahagiaan kita.
sumber: mizan.com (kolom haidar baqir)