Siapkah dengan perubahan "keterbukaan" yang ditawarkan oleh kemajuan Telekomunikasi dan Komunikasi (internet). Segala informasi mengenai seseorang bisa kita lacak dengan mudah lewat gerbang yang namanya internet.
Suatu hari iseng saja saya mengecek nama seorang caleg di daerah saya (makassar), di search engine google waktu itu musim pemilu ditahun 2004. Saya kaget ternyata ada. Saya telusuri ternyata artikel yang pernah dimuat suatu media massa, itupun media massa underground, tahun 1996an. Berita itu pun (soft copy) nya diposting disebuah mailig list dan website yang khusus membicarkan KKN keluarga Soeharto. Nah disitu diberitakan bahwa orang yang namanya saya ketik itu pernah terlibat suatu bisnis "haram" berkerja sama dengan cucu Soeharto (mantan Presiden Indonesia). Dan media massa mengecam bisnis pe-labelan minuman keras tersebut.
Dari pengalaman tadi, pikiran saya pun melayang ke masa kecil teringat pada guru agama yang menasehati bahwa sejak kecil sampai kita mati, setiap manusia senantiasa akan dipantau oleh dua malaikat, satu yang bertugas mencatat segala perbuatan baik kita dan satunya lagi mencatat perbuatan jelek sepanjang waktu hidup kita di dunia ini. Kasus search nama tadi membuat saya berpikir. Internet itu seperti yang dikatakan oleh guru agama saya itu. Begitu mudah saat ini informasi kita akses, termasuk hal-hal yang mengandung “dosa” atau “kebajikan” yang pernah kita perbuat. Jangan-jangan begitu kita online segala catatan-catatan perbuatan kita didunia telah tercatat dalam suatu data warehouse (gudang data) di ruang cyber yang namanya internet.
Pernahkah pembaca menonton film The Net yang dibintang Shandra Bullock, Bertutur seorang programer pintar difitnah dengan cara data-datanya dimanipulasi oleh si Jack programer yang jahat. Begitu kepolisian mengakses data basenya, maka gadis programer pintar itu akan bertertuliskan bahwa dia seorang narkotik, buron dan dikabarkan banyak catatan kriminalnya. Padahal gadis itu sebenarnya gadis biasa-biasanya saja, hobinya hanya mengutak-ngatik program komputer dan bertukar pengetahuan sesama programer lainnya diseluruh dunia. Itu salah satu contoh bahwa internet dapat menjadi "jahat" bagi diri kita. Semua hal tersebut diatas merupaka suatu contoh bahwa internet bisa mencabuli diri kita.
Catatan saya negara-negara maju seperti Amerika telah mengarah ke sana. Suatu system data yang terintegrasi. Data terintegrasi yang dimaksudkan disini adalah suatu pendataan profil perorangan maupun intitusi dapat dengan mudah ditelusuri oleh lembaga-lembaga yang memiliki otoritas dari negara bersangkutan. Seandainya kita sampai ke taraf dimana semua informasi mengenai diri kita dapat diketahui oleh orang lain. Segala track record kita dapat terlihat bila kita mengunjungi situs tertentu atau seperti google misalnya. Kita hidup seperti di telanjangi, privasi saat ini begitu tidak dapat lagi kita tutupi (tidak memiliki lagi suatu privasi), apabila kita menjadi publik figure, seperti artis, pejabat Negara, ataupun atlet terkenal dan sebagainya.
Kembali membicarakan apakah internet itu seperti malaikat pencatat kebaikan dan keburukan. Di akhir tahun 2004 ini, saya mencoba merefleksi diri untuk belajar bersikap, berpikir, dan belajar untuk menjadi bijaksana di tengah gelombang hidup yang serba berubah dan penuh kebingungan ini.
Pengalaman saya yang baru beberapa tahun (kurang lebih 6-7tahun) bergelut dengan dunia cyber (internet), memberi suatu makna berpikir dan belajar yang luar biasa. Internet merupakan dunia yang tidak dibatasin oleh dimensi-dimensi fisik dan waktu. Dalam pandangan sebagian orang kehidupan internet merupakan dunia yang tanpa batas, dunia tanpa aturan, dan dunia kebebasan. Dalam buku Filosofi Naif-nya Pak Onno W.Purbo, sempat dibahas, bahwa “tiada Tuhan di dunia cyber”. Betul, bahwa tahap awal mengenal Internet, saya begitu asyik menikmati “kebebasan” yang mungkin didunia nyata sangat terbatas dan tidak berlimpah seperti didunia maya. Mulai dari potongan tubuh artis-artis ngetop lokal maupun global, sampai gambar-gambar yang menyeramkan (mayat terpotong, tergilas kereta dan lainnya). Mengakses situs-stus manula, dewasa sampai anak-anak. Nimbrung di milis-milis dan terlibat diskusi, ikut memaki segala kebobrokan pemerintah atau suatu lembaga tanpa mengetahui detail masalahnya. Memang suatu keasyikan sendiri, melampiaskan unek-unek, melontarkan pendapat dan ide, dan ditanggapi oleh rekan netter lain, kemudian setelah itu berganti topik yang lebih asyik.
Tindakan yang tidak sopan, yang kasar, asusila, dan tidak pantas (etis) bila dilakukan di dunia nyata menjadi sesuatu yang lumrah di internet. Tuntutan hukum bagi yang berbuat asusila di ruang publik sangat jarang di dapatkan, malah penegak hukum pun kadang di tertawakan bila mulai mencoba menggunakan tools yang bernama hukum itu di ruang publik (internet). Fenomena yang saya renungkan adalah sebuah pergeseran pribadi diri kita yang “terbiasa” hidup didunia nyata, kini masuk pada suatu ruang publik yang maya (public cyber space).
Lain ladang lain belalang. Bila kita memasuki ruang publik yang maya, suka tidak suka kita akan mengalami proses adaptasi baru, dengan “lingkungan sosial” yang baru, para riset dunia cyber menyebutnya network society. Lingkungan baru yang menurut padangan saya adalah suatu lingkungan sosial yang menawarkan keterbukaan, bebas berpendapat, siap dihujat, kebanjiran informasi tanpa peduli itu bermoral atau tidak, etis atau tidak. Kita harus siap mendapat suatu ke”cabulan” atas suatu kebebasan itu.
Akhirnya, kembali pada diri kita. Pembelajaran demi pembelajaran akan menerpa kita dalam proses kematangan sosila baru itu. Kita “harus belajar” kalau tidak mau terjerembab kedalam “lubang” keterbukaan yang dalam hati nurani saya terdalam menganggap itu sebagai suatu yang tidak wajar jauh dari nilai kebenaran. Belajar tuk lebih bijaksana.
Penulis:
Andi Nur Baumassepe
Copyright, ngayogyakarto desember 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar